فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ وَلَن تَفْعَلُواْ فَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Maka jika kalian tidak dapat membuat (nya) dan pasti kalian tidak akan
dapat membuat (nya), takutlah kepada neraka yang bahan bakarnya manusia
dan batu, yang disediakan untuk orang-orang kafir.
Penutupan ini beralasan; yakni bahwa yang benar itu selalu cuma satu. Maka apabila yang benar itu sudah hadir, tentu tidak ada lagi yang benar yang lain, karena logikanya yang lain itu pasti salah. “Dan katakanlah: ‘(Apabila) yang benar telah datang maka yang batil pasti lenyap’. (Karena) sesungguhnya yang batil itu adalah (sesuatu yang) pasti (akan) lenyap.” (17:81). Firman-Nya lagi: “…fa mādza ba’da al-haqq illa al-dhalāl; Maka tiada (lagi) sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan…” (10:32) Setelah manusia melintasi rentang waktu berabad-abad dan ternyata benar-benar tidak ada yang sanggup membuat yang sepadan dengan al-Qur’an ini, seyogyanya mereka sudah menunjukkan apresiasinya yang tinggi kepada Kitab Suci ini. “Sesungguhnya orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, adalah orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat tersebut, mereka menyungkur sujud dan bertasbih seraya memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (32:15)
2). Di sini kita bertemu kembali kata نَار (nār, api) setelah sebelumnya berjumpa di ayat 17. Bedanya, di ayat ini menggunakan artikel ال (al, yang fungsinya sama dengan the dalam Bahasa Inggeris), menunjukkan bahwa نَار (nār, api) di ayat ini adalah api yang terdefenisikan dengan jelas, yaitu azab api neraka. Tetapi yang penting diketahui ialah bahwa di ayat 17, api tersebut dinyalakan sendiri oleh orang kafir/munafiq. Sehingga bisa difahami bahwa النَّارَ (an-nār, api neraka) sebetulnya adalah ‘ciptaan’ manusia sendiri karena mereka sendirilah yang menyulutnya. Allah dengan segala sifat Rahman dan Rahim-Nya, agaknya tidak mungkin ‘menciptakan’ neraka bagi hamba-hamba-Nya yang Dia ciptakan dengan ‘tangan’-Nya sendiri (38:75). Itu sebabnya, di dalam al-Qur’an, berkali-kali Allah menyebut bahwa penderitaan manusia (di dunia dan di akhirat) adalah akibat perbuatan tangan mereka sendiri.
3). Sekaitan dengan poin 2, tidak mengherankan manakala Allah menyebut bahwa bahan bakar neraka itu adalah manusia dan batu. Artinya, manusia sendiri yang membakar dirinya. Manusia sendirilah yang menjadikan dirinya sebagai sumber datangnya api tersebut. Karena makna yang bisa kita fahami dari frase “bahan bakar” ialah “sumber datangnya api”. Masalahnya, manusia seperti apa? Secara harafiah الْحِجَارَةُ (al-hijarah) kita artikan dengan “batu”. Tetapi secara maknawiyah bisa juga kita artikan dengan “kepala batu”. Sehingga kalimat “bahan bakarnya manusia dan batu” bisa kita artikan dengan “bahan bakarnya manusia dan sifat kepala-batunya”. Firman-Nya: “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang keluar daripadanya sungai-sungai, ada yang terbelah sehingga daripadanya keluarlah mata air, dan di antaranya (pula) sungguh ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.” (2:74) Menurut ayat ini, hati manusia bila mengeras, kerasnya bisa lebih dari batu.
4). Agar manusia tidak menjadikan dirinya sebagai bahan bakar api neraka, maka inilah tindakan preventif al-Qur’an; yaitu dengan berwasiat kepada para orang tua: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari (azab) api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah dari apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (66:6) Maksudnya: orang tua harus mendidik anaK-anaknya dengan penuh kasih sayang—sebagaimana Allah menciptakan hamba-Nya dengan Rahman dan Rahim-Nya—agar anak-anak tersebut tidak tumbuh menjadi monster yang berkepala batu.
AMALAN PRAKTIS
Ayat ini memastikan betapa manusia dan jin tidak akan pernah sanggup membuat padanan al-Qur’an. Artinya, manusia tidak akan pernah sanggup menyusun undang-undang kehidupan sebaik Kitab Suci ini. Setelah menerima kenyataan ini namun tetap enggan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup, mari kita introspeksi diri: jangan-jangan kitalah si manusia kepala batu itu, yang kelak menjadi bahan bakar di neraka jahannam…!!!
No comments:
Post a Comment