مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّا أَضَاءتْ مَا
حَوْلَهُ ذَهَبَ اللّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ
يُبْصِرُونَ
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka
tatkala (api itu) menerangi sekelilingnya Allah (tiba-tiba)
menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkannya dalam
kegelapan, tidak dapat melihat.
1). Ketika mengakhiri beberapa ciri orang bertaqwa, Allah menunjuk mereka
dengan kata tunjuk أُوْلَئِكَ (uwlāika, mereka itulah)—isim isyārah lil
ba’id (dalam bentuk jamak)—terhadap mereka yang menjalani hidupnya di
atas PETUNJUK tersebut: Mereka itulah (orang-orang) yang (berjalan)
menurut petunjuk dari Tuhannya (ayat 5). Jenis isim isyārah yang
sama—أُوْلَئِكَ (uwlāika)—juga Allah gunakan setelah menjelaskan
beberapa ciri orang munafiq: Mereka itulah orang-orang yang membeli
kesesatan dengan petunjuk (ayat 16). Seakan Allah hendak
mendemontrasikan secara terbuka dan blak-blakan kedua golongan tersebut
sehingga terpapar dengan jelas perbedaan keduanya. Tujuannya, supaya
penyimak Kitab Suci tidak salah pilih. Yang bertaqwa menggunakan
PETUNJUK-nya dengan benar, yang munafiq justru menjual PETUNJUK-nya
dengan kesesatan. Terserah, pembaca al-Qur’an mau pilih yang mana…
2). Sekarang (ayat 17) dan tiga ayat berikutnya (ayat 18-20) Allah
menjelaskan gejala-gejala psikis orang munafiq agar kita memahami makna
lahum adzābun alym (bagi mereka azab yang pedih, ayat 10) dan fiy
thughyānihim ya’mahuwn (terombang-ambing dalam kesesatan, ayat 15).
Karena ini menyangkut masalah yang tidak bisa dijangkau oleh
panca-indra, menyangkut keadaan isi hati manusia, maka Allah
menyampaikannya dalam bentuk perumpamaan (parable)—catatan: bentuk
penyampaian seperti ini nanti sangat banyak kita temukan dalam al-Qur’an
sejauh alasannya sama dengan yang disebutkan tadi. Di ayat ini, Allah
mengumpamakan mereka sebagai penyulut api. Begitu apinya menyala, cahaya
yang datang dari api tersebut menerangi lingkungan sekitarnya. Tetapi
baru mereka mau menikmati cahaya terang tersebut, Allah tiba-tiba
memamadamkannya, sehingga dengan serta-merta mereka kembali berada dalam
kegelapan yang lebih pekat dari sebelumnya. Mereka semakin tidak bisa
melihat, semakin kalut, dan semakin terombang-ambing dalam kegelapan.
3). Di ayat ini Allah menggunakan kata نُور (nuwr, cahaya) kaitannya
dengan نَار (nār, api). Sementara di Surat an-Nuwr (24) ayat 35, Allah
juga menyebut diri-Nya sebagai نُور (nuwr, cahaya): “Allah adalah
Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak (pula) di
barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya (Allah adalah cahaya) di atas cahaya. Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” Secara lahirian, Allah ingin
menjelaskan bahwa semua cahaya yang tidak berasal dari Allah, akan
padam, seperti cahaya yang keluar dari api permusuhan yang disulut di
dalam hati orang-orang munafiq (2:17). Cahaya yang kekal hanya Caha-Nya
(24:35). Secara batiniah, secara ontologis, Allah mewartakan bahwa
hakikat segala sesuatu adalah (memancar dari) Cahaya-Nya. Dan tiap-tiap
cahaya yang padam pada hakikatnya bukan Cahaya. Karena segala sesuatu
yang bisa terkena ketiadaan pada hakikatnya TIDAK ADA.
4). Ayat berikut ini memperjelas bahwa api yang dimaksud di ayat 7 ini
adalah api peperangan dan sekaligus menjelaskan bahwa tiap kali api
peperangan yang mereka sulut itu mati tiap itu juga mereka berpaling
seraya membuat kerusakan yang lebih besar (seperti dijelaskan di poin
1). “Tiap kali mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya.
Mereka (kemudian) berbuat kerusakan di muka bumi. Padahal Allah tidak
menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (5:64) Api peperangan ini
bermula di dalam diri mereka masing-masing. Jadi sebelum menyulut api
peperangan di luar sana, mereka terlebih dulu menyulutnya di dalam jiwa
meraka sendiri. Sehingga yang pertama kali terbakar adalah diri mereka
sendiri juga. Inilah yang dimaksud dengan lahum adzābun alym (bagi
mereka azab yang pedih, ayat 10) dan fiy thughyānihim ya’mahuwn
(terombang-ambing dalam kesesatan, ayat 15). Dan kalu situasinya sudah
seperti ini, qalbu mereka sudah pasti لاَّ يُبْصِرُونَ (mereka tidak
melihat) lagi. Yang ada hanya ego dan
hawa nafsu.
Jiwa Anda adalah pelita hidup Anda. Maka janganlah memadamkannya seraya menggantinya dengan api peperangan kepada manusia dan kemanusiaan. Mendukung atau bahkan berdiam diri terhadap mereka yang memerangi manusia dan kemanusiaan pada dasarnya juga menyulut api itu di dalam jiwa Anda. Hasilnya: Anda akan merasakan azab yang pedih dan terombang-ambing dalam kesesatan.
No comments:
Post a Comment