Thursday, November 1, 2012

01/11 QS. AL-BAQARAH (2) : 15

اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
 Allah akan (balik) mengolok-olok mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.
 1). Bayangkan Allah sebagai sebuah kaca bening, dimana setiap laku manusia (terlahirkan atau masih terbatinkan) akan terlihat dengan jelas di sana. Melalui perumpamaan cermin ini, laku manusia bisa dilihat sebagai:
Satu, sekecil apapun perbuatan manusia niscaya akan tertangkap dengan jelas oleh cermin tersebut. Semua gerak-gerik manusia terekam di sana dengan serinci-rincinya. Tidak ada laku manusia sekecil atom atau sehalus benak sekalipun, kecuali tersorot dengan saksama oleh kamera cermin tersebut. “Sesungguhnya Kamilah (yang) menghidupkan orang mati dan Kami (pulalah yang) menuliskan apa yang telah mereka kerjakan (selama hidupnya) dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lohmahfuz).” (36:12)
Dua, sesederhana apapun laku manusia, pada dasarnya yang mereka lihat di dalam cermin itu adalah laku (perbuatannya) sendiri. Jadi kalau dia berbuat baik, maka yang dia lihat adalah perbuatan baiknya sendiri; dan kalau dia berbuat buruk, yang dia lihat adalah perbuatan buruknya sendiri. Setelah melihat keindahan perberbuatan baiknya, dia akan termotivasi untuk melakukan kebaikan berikutnya, dan seterusnya hingga kebaikan itu menjadi kebiasaannya sehari-hari dan membentuk sifat dan akhlaknya. 
 2). Sifat suatu laku, seperti dijelaskan pad poin 1 tadi, akan mengalami eksponensialisasi bilamana menjadi preseden bagi orang lain. Karena Nabi saw bersabda: “Siapa yang mencontohkan suatu perbuatan baik lalu diikuti oleh orang lain, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang tersebut. Dan siapa yang mencontohkan suatu perbuatan buruk lalu diikuti oleh orang lain, maka ia mendapat dosa seperti dosa orang yang melaksanakannya, tanpa mengurangi dosa pelaku tersebut.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah) Dapat kita bayangkan jikalau yang mengikuti perbuatan tersebut bukan hanya seorang tapi beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan berjuta-juta; bukan hanya satu generasi tapi bergenerasi-generasi. Dan orang munafiq tidak mungkin mencontohkan hal yang baik, karena dasar dari seluruh perbuatan mereka adalah Mereka (bermaksud) menipu Allah dan orang-orang yang beriman (ayat 9). Mereka tidak pernah bersungguh-sungguh dengan iman mereka karena mereka hanya ingin mencemooh orang beriman (ayat 14). Sehingga mereka menginisiasi perbuatan tersebut bukan karena ketidaktahuan, tapi memang dimaksudkan untuk mendeviasi manusia dari shirathal mustaqym (jalan yang lurus).
3). Kata طُغْيَان (thughyān) yang ada di ayat ini seasal kata dengan طَغَى (thaghā)—yang diartikan sebagai to be tyrannical, oppressive, despotic, atau to oppress, prevail (in), predominate (in), dominate, seperti di 20:24 atau 79:37—dan الطَّاغُوتُ (thāghuwt)—yang diartikan sebagai idol atau devil, seperti di 4:60 atau 39:17. Dari pengertian طَغَى (thaghā) dan الطَّاغُوتُ (thāghuwt) tersebut bisa diramu makna طُغْيَان (thughyān) sebagai oppression atau tyranny, hampir sama dengan makna yang terkandung dalam kata ظُلْمٌ (dzulm, zalim, aniaya). Dimana orang yang punya ‘penyakit’ طَغَى (thaghā) akan menjadikan dirinya sebagai idol dan devil. Dengan demikian pengertian “tersesat” yang digunakan untuk kata طُغْيَان (thughyān) di ayat ini bermakna tersesat akibat perbuatan aniaya, penindasan, opresi, tirani, dan kezaliman yang mereka lakukan dengan cara menyimpangkan opini publik secara ‘paksa’ melalui berbagai instrument kekuasaan yang mereka miliki. Artinya, semakin tinggi tensi opresi, penindasan dan kezaliman yang mereka lakukan semakin jauh pula mereka terjerumus ke dalam lembah kesesatan; seperti orang yang terjebak ke dalam lumpur hidup, semakin bergerak semakin tertarik jauh ke dalam lumpur tersebut.  

4). Tokoh yang paling sering dicontohkan al-Qur’an berkenaan dengan sifat طُغْيَان (thughyān) ini ialah Fir’aun. Allah berfirman kepada Nabi Musa as: “(Wahai Musa) Pergilah kepada Firaun, (karena) sungguh ia telah طَغَى (thaghā)—berkuasa secara tiranik, menindas, dan melampaui batas". (20:24) Kedatangan Musa (dengan segala keindahan akhlaqnya) kepada Fir’aun, bukan membuat yang terakhir ini kembali kepada kebenaran seperti yang diminta Musa kepadanya, tetapi malah semakin menjadi-jadi amarah dan keangkuhannya. Bagi Fir’aun, nasehat Musa adalah kritik yang mengancam kelangsungan pemerintahannya.Fir’aun benar-benar terombang-ambing dalam kesesatannya. Bahkan jauh sebelumnya, Fir’aun sudah tercabut nilai-nilai kemanusiaannya dengan membunuh bayi-bayi laki-laki yang baru lahir yang menurutnya kelak akan menjadi kekuatan oposisi yang memplototi prilaku despotiknya dalam menjalankan kekuasaannya. Baginya, semua suara yang berbeda dengan titahnya adalah serangan yang harus dibumihanguskan. Yang ditakuti sebenarnya bukan lagi Nabi Musa tapi bayangannya sendiri.
AMALAN PRAKTIS
Kalau Anda belum mampu melakukan suatu amalan agama, maka datanglah dengan jujur kepada Allah mengakui ketidakmampuan Anda seraya meminta pertolongan-Nya. Jangan pernah menjadikan amalan tersebut sebagai barang olok-olokan. Karena jika Anda sudah mencemooh amalan agama, niscaya Allah membiarkan Anda terombang-ambing dalam kesesatan. Dan jika itu terjadi, maka tunggulah kehancuran dan kebinasaan Anda, cepat atau lambat.

No comments:

Post a Comment