صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ
(Mereka) tuli, bisu, (dan) buta, maka mereka tidak akan kembali (ke jalan yang lurus, shirathal mustaqym).
1). Di ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa menghilangkan cahaya dari
sesuat adalah otoritas dan prerogative Allah. Dan orang yang diangkat
cahayanya adalah orang yang hidup dalam ظُلُمَات (dhzulumāt, kegelapan).
Saat kita menjelaskan makna طُغْيَان (thughyān)—lihat pembahasan ayat
15 poin 3—kita menyebut bahwa kata طُغْيَان (thughyān) ini mirip
maknanya dengan kata ظُلْمٌ (dzulm, zalim, aniaya). Menariknya kata
ظُلْمٌ (dzulm, zalim, aniaya) ini satu asal kata dengan ظُلُمَات
(dhzulumāt, kegelapan). Bisa disimpulkan bahwa orang yang mati cahaya
jiwanya juga mati cahaya kemanusiaannya. Orang yang mati cahaya jiwanya
sama dengan orang yang hidup dalam kegelapan. Orang yang hidup dalam
kegelapan adalah orang yang kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya
sehingga akan tega melakukan apa saja demi kepentingan ego dan hawa
nafsu pribadi dan kelompoknya; orang ini akan tega melakukan berbagai
bentuk kezaliman. Apabila mereka berkuasa, kekuasaannya digunakan untuk
melakukan perbuatan aniaya, penindasan, opresi, tirani, dan kezaliman.
Cuma, bagi kebanyakan manusia, perbuatan aniaya, penindasan, opresi,
tirani, dan kezaliman mereka ini terkadang sulit dikenali karena mereka
membungkusnya dengan baju keagamaan yang nyaris sempurna.
2). Saat membahas makna ayat “Allah telah menutup qalbu, pendengaran, dan penglihatan mereka dengan sumbat..”
(ayat 7), dijelaskan bahwa ketiga instrument ini adalah semacam
software yang mempunyai fungsi ruhaniah. Apabila ketiga instrumen ini
tidak berfungsi, maka hilanglah unsur-unsur utama yang menjadi pembeda
antara manusia dan hewan. Manusia bahkan bisa menjadi makhluk yang lebih
rendah dari hewan melata: “Sungguh, seburuk-buruk hewan melata
(makhluk) yang ada di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli,
(yaitu) orang yang tidak mengunakan aqalnya.” (8:22) Artinya, orang
yang tuli, bisu, (dan) buta adalah orang yang tidak mungkin lagi
bertindak sesuai dengan akal sehat. Di sinilah terjelaskan kenapa
manusia bisa berubah menjadi monster hewani yang menakutkan. Yakni bahwa
manusia yang hidup dalam ظُلُمَات (dhzulumāt, kegelapan) sama dengan
kawanan binatang melata yang semua tindakan-tindakannya tidak sejalan
lagi dengan akal sehat, tidak rasional, tidak intelek, tidak logis.
Nalar insani mereka sudah tersumbat. Andalan mereka tinggal retorika dan
kemampuan memanipulasi kata-kata: dusta dan kebohongan.
3). Coba cermati ayat 18 ini baik-baik kemudian bandingkan dan cari
perbedaannya dengan ayat berikut ini: صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ
يَعْقِلُون [… (Mereka) tuli, bisu (dan) buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak akan menggunakan aqal(nya)
(2:171)]. Dengan mudah kita menemukan bahwa perbedaannya hanya di
buntutnya. Kalau di ayat 18 ini, buntutnya berbunyi: لاَ يَرْجِعُونَ
[mereka tidak akan kembali (ke jalan yang lurus, shirathal mustaqym)];
sementara di 2:171, buntutnya berbunyi: لاَ يَعْقِلُون [mereka tidak
akan menggunakan aqal(nya)]. Kalau kita kawinkan keduanya, maka yang
terfahami ialah: orang yang tuli, bisu, dan buta adalah orang yang tidak
lagi menggunakan akalnya; dan orang yang tidak mengunakan akalnya
niscaya tidak akan menemukan jalan untuk kembali ke jalan yang lurus
(shirathal mustaqym, shirathal ladzina an’amta ‘alymim, S. al-Fatihah
ayat 6 dan 7). manusia hanya akan bisa kembali ke jalan yang lurus (shirathal mustaqym,
shirathal ladzina an’amta ‘alymim) apabila mereka beriman, dan manusia
hanya akan beriman apabila menggunakan akal pikirannya, sementara
manusia tidak akan menggunakan akal pikirannya apabila (Mereka) tuli,
bisu (dan) buta.
4). Apabila manusia memilih menjadi tuli, bisu (dan) buta, maka siapakah
lagi yang bisa membuatnya mendengar, bertanya, dan melihat? Di sini
kita ketemu lagi pembicaraan mengenai kehendak bebas seperti yang telah
diterangkan di ayat 8. “Sungguh kamu (Muhammad) tidak akan dapat
menjadikan orang-orang yang mati (hatinya) mendengar dan (tidak pula)
menjadikan orang-orang yang tuli (bisa) mendengar panggilan, apabila
mereka telah berpaling membelakang.” (27:80, 30:52). Satu-satunya yang
bisa membuat mereka bisa kembali ke jalan yang lurus adalah diri mereka
sendiri, karena Allah telah memberikan kepadanya kehendak-bebas
(free-will) beserta alat-alat pendukungnya: “Sungguh Kami telah memberi
petunjuk jalan (dalam diri manusia, yaitu akal pikiran); (tetapi
terserah mau) mensyukuri(nya) atau mengingkari(nya).” (76:3). Cuma,
biasanya, manusia cenderung tidak kembali ke jalan yang lurus sebelum
kaki mereka terantuk batu besar: “Dan tidaklah Kami perlihatkan
kepada mereka suatu mukjizat kecuali (bahwa) mukjizat itu lebih besar
dari mukjizat-mukjizat sebelumnya. Dan Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka kembali (ke jalan yang lurus).” (43:48)
Berdasarkan ayat ini, apabila Anda merasa kesulitan mencerna, menyimak, hingga akhirnya juga kesulitan mengamalkan ajaran-ajaran agama, maka Anda patut memberi status suspect (mencurigakan) terhadap diri Anda dalam kaitannya dengan ‘penyakit’ tuli, bisu (dan) buta ini. Dan kalau Anda tidak secepatnya menyembuhkannya, khawatir tiba pada apa yang disebut the door of no return (tidak akan kembali ke jalan yang lurus).
No comments:
Post a Comment