يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاء لَهُم مَّشَوْاْ
فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُواْ وَلَوْ شَاء اللّهُ لَذَهَبَ
بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّه عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat
itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap
menimpa mereka, mereka berhenti. Seandainya Allah menghendaki, niscaya
Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh Allah
berkuasa atas segala sesuatu.
1). Kalau ayat sebelumnya menyebutkan bagaimana tersiksanya orang
munafiq jika mendengar suara petir yanag menggelegar dari langit, hingga
mereka harus meletakkan jari-jari tangannya di telinganya karena takut
mati, maka di ayat ini Allah menjelaskan betapa tersiksanya mereka
menyaksikan kilat terpancar dari langit yang datang begitu terang tapi
sekaligus begitu cepat menghilangnya. Karena mereka sudah terbiasa
dengan kegelapan, maka begitu menyaksikan cahaya yang terang-benderang,
mata(hati)nya nyaris tidak mampu menahan luapan cahaya itu. Kendati
demikian, mereka tetap bisa memanfaatkan suasana terang itu untuk
berjalan. Sayangnya, baru satu dua langkah, cahaya itu mendadak
menghilang, dan kini mereka kembali terkepung oleh kegelapan, bahkan
jauh lebih gelap lagi dari sebelumnya. Dalam kondisi gelap-gulita
seperti itu, tidak ada pilhan lain baginya kecuali berhenti, terpaku,
dan terpana. Dalam suasana gelap-pekat segala sesuatu kehilangan
identitas dan jati dirinya; nama-nama menjadi sirna, predikat-predikat
tak tersandangkan; semua membaur dan lebur ke dalam ketiadaan, tertelan
oleh horor yang tak terdefenisikan: kegelapan. Di titik ini orang
munafiq seharusnya menyadari betapa tak berartinya diri tanpa cahaya;
betapa menderitanya hidup tanpa suluh. “Semua yang ada di dunia akan
binasa. Dan yang kekal (hanya) Wajah Tuhanmu yang memiliki Kebesaran
dan Kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (55:26-28)
Kedua, di kedua ayat ini Allah mengajarkan bahwa bashirah hanya fungsional bilamana berkoeksistensi dan berkolaborasi dengan CAHAYA. Bashirah hanya bisa melihat, mengidentifikasi dan mempersepsi hal-hal yang ada kalau lingkungan sekitar tertimpa CAHAYA— أَضَاءتْ مَا حَوْلَهُ(adhāat ma hawlahu, ayat 17). Juga bashirah hanya bisa bekerja manakala bashirah itu sendiri juga tertimpa CAHAYA— أَضَاء لَهُم (adhāa lahum, ayat 20). Jadi CAHAYA mutlak dibutuhkan baik oleh subyek yang melihat ataupun obyek yang dilihat. Sehingga bisa dikatakan bahwa CAHAYA adalah wahana yang menyatukan subyek dan obyek. Pertanyaannya lagi, dari manakah CAHAYA itu berasal? Lagi-lagi, dalam pandangan tauhid, tentu tidak ada sumber lain selain Allah. Kalau begitu, terjawab pula: CAHAYA itu berasal dari DIRI-Nya. Sekarang, coba kawinkan antara penjelasan pertama dan penjelasan kedua! Hasilnya: dalam melihat sesuatu, yang terjadi sesungguhnya ialah DIRI-Nya menyaksikan DIRI-Nya.
3). Apakah pendengaran dan penglihatan itu bisa menjadi tiada? Bisa, karena Sungguh Allah berkuasa atas segala sesuatu. Tetapi penggunaan kata وَلَوْ (walaw, seandainya), menunjukkan bahwa Allah tidak akan meniadakannya, karena itu adalah bagian dari Rahman-Nya. Maka apabila seseorang itu menyadari kalau jiwanya menderita ‘penyakit’ tuli, bisu (dan) buta, sama sekali tidak boleh berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah. “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. (Dan) sungguh Dia itu Maha Pengampun (lagi) Maha Penyayang’.” (39:53) Jiwa yang mati bisa dihidupkan kembali oleh-Nya. Lalu bagaimana caranya Allah menghidupkan kembali jiwa yang sudah mati, jiwa yang sudah tuli, bisu (dan) buta? Allah sendiri yang menguak caranya: “…Kami menjadikan Al Qur'an itu CAHAYA, yang Kami tunjuki dengan CAHAYA itu siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk (dengan CAHAYA itu) kepada jalan yang lurus.” (42:52)
4). Di ayat 19, Allah menyebut diri-Nya مُحِيطٌ (muhiyth, Maha Meliputi); sementara di ayat 20 ini Dia menyebut diri-Nya قَدِيرٌ (qadiyr, Maha Menguasai). Apabila kita kembali kepada pembahasan tadi bahwa segala sesuatu adalah Rahman-Nya dan Cahaya-Nya sehingga tidak ada satupun entitas yang bukan Rahman-Nya yang memancar sebagai Cahaya-Nya, maka sejauh jangkauan Rahman-Nya dan Cahaya-Nya sejauh itu pula Kekuasaan-Nya Meliputi. Sehingga orang kafir dan munafiq bisa menampik-Nya ‘keluar’ dari kesadaranya tetapi mereka sendiri tidak akan pernah mampu keluar dari liputan kekuasaan-Nya. Sebab DIRI-nya (sendiri)—yang menjadi tempat mencuatnya kesadarannya itu—adalah juga (berasal dari) DIRI-Nya (Tuhannya). Allah menggunakan kata مُحِيطٌ (muhiyth, Maha Meliputi) karena Dia hendak menginformasikan ketidakmampuan orang-orang yang menentang-Nya untuk melarikan diri dari jangkauan-Nya. Dan Allah menggunakan kata قَدِيرٌ (qadiyr, Maha Menguasai) karena Dia hendak menyampaikan bahwa orang-orang yang menentang-Nya tidak akan pernah mampu melawan kekuasaan-Nya.
AMALAN PRAKTIS
Di dalam diri setiap kita ada bashirah. Bashirah inilah yang membuat kita berkesadaran, mempersepsi dan mengidentifikasi. Tanpa bashirah, hidup bukanlah hidup, manusia bukanlah manusia. Tetapi ketahuilah, bashirah itu bisa mati di dalam jasad yang hidup; lahirlah zombie (mayat berjalan). Dan untuk menghidupkannya kembali, caranya cuma satu: hidupkan kembali kesadaran Anda bahwa Anda butuh CAHAYA-Nya.
No comments:
Post a Comment