Ungkapan “Si Tou Timou Tumou Tou” dapat dipandang sebagai suatu cara pandang Tou (manusia) Minahasa tentang dirinya dan sesama manusia dalam dunianya yang sarwa berobah atau sutau prinsip hidup sepanjang sejarahnya dan menggambarkan sikap dan perilaku manusia Minahasa dalam rangka manusia Minahasa itu sebagai makhluk sosial budaya, menempatkan dirinya dalam kerangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber-negara.
Prinsip hidup itu tidak saja
mengandung anasir luhur tentang sikap dan perilakunya itu, tetapi
secara menyeluruh dan utuh menggambarkan jatidiri/identitas manusia dan
masyarakat Minahasa sebagai bagian integral manusia dan masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, sebagai produk proses yang bersifat terus
menerus, manusia Minahasa itu memanusia (homonisasi) dan mendunia (mundanisasi) dalam
alam dan kehidupan masyarakat Minahasa pada khususnya, Indonesia, pada
umumnya suatu kehampaan namun pada tingkat pertama dia “timou” (hidup
dan tumbuh) dalam suatu lingkungan yang terbatas (Minahasa) dengan alam
fisik dan sosio budayanya.
Dalam berinteraksi dengan lingkungannya itu, Tou
Minahasa membentuk ciri-ciri kebudayaannya dan sekaligus jati dirinya,
baik melaui interaksi kemampuan nalar transedental sehingga
mengembangkan pula cirri spiritualnya. Berdasarkan pemikiran mendasar
ini maka prinsip hidup “Si Tou Timou Tumuo Tou” dapat diterima oleh
masyarakat Minahasa sebagai pandangan
hidup yang mampu mengarahkan kehidupannya dalam berperan serta
membangun kehidupan dan bertanah air yang berkualitas.
Menguraikan makna
“Si Tou Timou Tumuo Tou” dalam pelbagai ungkapan aktualnya dalam
kehidupan sehari-hari di pelbagai segi/sektor dan subsektor kehidupan
manusia Minahasa, maka pertama-tama harus dikemukakan bahwa:
1. Si Tou
(manusia) adalah Manusia
Minahasa baik keturunan asli orang Minahasa maupun orang Minahasa
berdarah campuran etnis lain dan juga pendatang yang tinggal dan menetap
di tanah Toar Lumimuut dalam perspektif yang sama untuk membangun tanah
Minahasa.
2. Timou
( tumbuh dan berkembang ) : manusia Minahasa bukan manusia yang statis
dan tidak berkembang tetapi Tou Minahasa adalah orang yang mau tumbuh
dan berkembang, dengan tidak melupakan pesan atau “TIWA” dari para
leluhurnya seperti “Tou Minahasa, Tou Peleng Masuat, Cawana Se Parukuan
Cawana se Pakuruan“ Manusia Minahasa adalah manusia yang setara, tidak
ada orang yang tunduk padanya dan juga tidak tunduk pada orang lain.
Prinsip kesetaraan dipegang erat semenjak dulu, termasuk kesetaraan
gender dimana perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dan tidak
menganut paham Patriarki yang sering digunakan dalam sebuah
kerajaan, hal ini bisa dibuktikan dimana perempuan juga bisa menjadi
pemimpin, seperti yang di terapkan di salah satu sub etnis di Minahasa,
yaitu Tountembouan sebagaian besar Walian (pemimpin upacara
adat) adalah perempuan. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip hidup
seperti itu manusia Minahasa tumbuh dan berkembang.
3. Tumou Tou ( Menjadi Manusia/Orang ) -- konsep ini menunjukkan bahwa Manusia Minahasa itu adalah manusia yang seutuhnya bukanlah boneka yang
bisa dikendalikan, atau seperti manusia yang sedang memakai topeng, dan
di kendarai oleh topeng tersebut, atau istilah yang sering kita lihat
dan dengar sekarang adalah Zombi. Seperti yang kita ketahui sulit untuk
mendeskripsikannya, manusia atau monster, mayat yang hidup dan bukan
manusia. Hal-hal seperti itu membuyarkan identitas sebagai tou minahasa.
Penggunganaan kata Tumou Tou menjelaskan bahwa manusia Minahasa adalah
manusia yang utuh, hidup dan mau terus hidup.
Jadi, secara harafiah
makna ungkapan Si Tou Timou Tumou Tou adalah Manusia hidup, tumbuh dan
berkembang untuk menjadi manusia seutuhnya, dimana inti dari falsafah
ini adalah Tou tumou Tou atau Tou Mamuali Tou, bagaimana kiat hidup Tou
Mnahasa untuk menjadi manusia seutuhnya.
Hal
ini pertama-tama tampak pada pandangan metafisisnya bahwa pusat
kehidupan manusia dan dunianya ialah “Opo Empung” (Tuhan Yang Maha Esa)
atau “Empung
Wailan” (Tuhan Yang Maha Kaya) atau “Opo Wananatas” (Tuhan Yang
Mahatinggi). Konsep kereligiusan manusia Minahasa yang ia anut sejak
jaman pra sejarah yang lebih mengandalkan kemampuan untuk tumbuh menjadi
orang baik(tou leos) dan bukan orang jahat (tou lewo) dan bermanfaat
bagi sesamanya.
Konsep “ Manusia Hidup Untuk Memanusiakan Orang Lain “ dalam realitas kehidupan manusia Minahasa, sejak dini sekali muncul dalam wujud ethos kerja Mapalus (Maendo dalam Bahasa Tountemboan), Mapalus
dapat dianggap sebagai aktualisasi yang paling kongkrit tentang makna
hakiki “Sitou Timou Tumou Tou” itu hal mana tidak saja dapat dilihat
dari siat sosial budayanya sebagai sumber adat kebiasaan masyarakat, tetapi dan terutama pada 4(empat) asas pelaksanaanya(kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, kerjasama dan keagamaan), dan 5(lima) prinsip dalam segi pengelolaan kehidupan mapalus itu(tolong menolong, keterbukaan, disiplin kelompok, kebersamaan, dan daya guna-hasil guna).
Dalam menghadapi proses moderenisasi akibat kemajuan teknologi dengan
kemungkinan terjadinya proses The Humanisasi sebagai akibat proses
industrialisasi, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Mapalus, dapat
menjadi pembendung yang effektif.
Sebagai perwujudan kebudayaan Minahasa,
Mapalus merupakan system etika sekaligus system sosial, dulunya
dimaksudkan sebagai suatu wahana dari masyarakat Minahasa dalam upaya produksi,
tetapi dengan adanya bahwa usaha produksi merupakan suatu proses
produksi sosial, maka Mapalus sebenarnya telah berkembang dan melakukan
semua unsur ekonomi,
yaitu proses produksi sekaligus distribusi dan konsumsi. Asas dan
prinsip mapalus dalam lingkup proses produksi ini, dipandang oleh banyak
pihak dikandung oleh nilai-nilai yan dapat diangkat di konteks yang lebih luas.
Dalam
lingkup wawasan yang lebih sempit, dalam arti terbatas pada kepentingan
masyarakat Minahasa sendiri, prinsip hidup “Sitou Timou Tumou Tou” ini,
menyatakan diri dalam bentuk masyarakat Papendangen (pendang
berarti ajar), suatu Learning Society yang berati bahwa masyarakat
Minahasa adalah suatu masyarakat yang selalu ingin menimbah ilmu dan
pengetahuan. Hal ini berati bahwa antara generasi tua dan muda terdapat kesinambungan melalui proses ajar mengajar. Kalau ini diangkat ketingkat pemikiran atau wawasan yang bersifat falsafi, maka ajaran yang sekarang sering terdengar “Mari Torang Baku Bekeng Pande” mari
kita saling membuat diri pandai. Merupakan perwujudan masyarakat
Papendangen dimasa kini. Ajakan yang juga merupakan suatu bentuk
perwujudan prinsip mapalus ini, tidak saja akan terasa menarik bagi
generasi muda karena menunjukkan kepedulian generasi tua terhadap yang
muda, tetapi terlebih-lebih dapat mewujudkan diri sebagai suatu falsafah kepemimpinan masyarakat Minahasa
di jaman modern ini. Suatu kepemimpinan Falsafi yang membuat
seperangkat nilai yang substansinya bersifat ideal-normatif yang dapat
menjamin suatu kesatuan gerak masyarakat minahasa/Kawanua, baik dala
mempertajam jati dirinya dalam lingkup ke jatidirian bangsa Indonesia
maupun dalam meningkatkan peran sertanya dalam pembanguna nasional.
Sejarah manusia khususnya di daerah Minahasa sendiri menunjukan bahwa prinsip hidup “Si Tou Timou Tumou Tou” secara sungguh-sungguh juga anti penjajahan. Hal ini tidak saja ditunjukkan oleh adanya perang melawan bangsa luar (Pasengkotan) yang mencoba merebut tanah Minahasa atau para penjajah (
seperti perang Tondano1, Tahun 1961, dan perang Minahasa Di Tonadao,
tahun 1808-1809, melawan Belanda) yang terjadi sebelum Proklamasi
kemerdekaan, tetapi juga setelahnya seperti yang dikenal dengan
peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946, serta partisipasi banyak orang
Minahasa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan(banyak yang gugur
dalam perjuangan itu).
Menyimpulkan pandangan-pandangan dari berbagai perspektif yang menyangkut jatidiri manusia dan masyarakat Minahasa sebagai penguraian prinsip hidup “Sitou
Timou Tumou Tou”, sebagai sumbangan yang cocok dalam bentuk nilai
positif sub budaya Minahasa kepada era tinggal landas (selain yang
secara eksplisit telah diuraikan di depan), maka dapat dikemukakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan umum (kebudayaan pada umumnya) dan pendekatan khusus (adat kebiasaan). Pendekatan umum, melukiskan masyarakat Minahasa sebagai (1) masyarakat papendangen, (2) masyarakat mapalus, (3) masyarakat empatik dan (4) masyarakat religius. Pendekatan khusus (yang diteruskan secara turun temurun,memberikan potret watak dan pembawaan) manusia Minahasa sebagai berikut : kehidupan “masyarakat walak” telah membentuknya menjadi manusia yang menghayati sepenuhnya makna bersatu (Maesa) ia dapat hidup dimana pun juga karena adanya pikiran dan semangat “tumani”; ia adalah manusia religius, demokrat egaliter, sopan dan suka bergaul (tawaran “melep”/mau munim ? ) atau “kumanem”/sudah
makan ?), memiliki sifat estetik, sifat keterbukaan dan kesetiakawanan
yang tinggi; walaupun hidup terpencar (baik secara perorangan atau
kelompok) ia akan tetap merasa terikat kepada yang lain karena adanya
kepercayaan akan persamaan garis keturunan; dalam keanekaragaman pikiran
dan pendapat, ia mampu mencapai kata sepakat bila “tanah leluhur”
menjadi taruhan; semangat juang dan penguasaannya tinggi dan teguh dalam
mempertahankan hak.
Dengan pedoman pada apa yang telah diuraikan di depan, maka operasionalisasi prinsip hidup “Sitou Timou Tumou Tou”, dalam rangka meningkatkan peran serta manusia/ masyarakat Minahasa dalam segala bidang kehidupan pertama-tama
harus disadari bahwa prinsip hidup “Sitou Timou Tumou Tou” hanyalah
dapat bermakna dan berfungsi sebagai pandangan hidup yang mampu
menjiwai, mewarnai dan mengarahkan kehidupan
Tou Minahasa dalam berperanserta membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berkualitas, apabila terdapat persamaan
persepsi, bahasa, sikap dan geraknya dalam menghayati dan
mengoprasionalkannya. Untuk itu diperlukan suatu rumusan umum yang dapat
dibakukan tanpa menjadikannya suatu rumusan yang kaku dan tak dapat
berobah. Dengan begitu maka “Sitou Timou Tumou Tou” sebagai suatu
prinsip hidup dapat pula dijadikan suatu pedoman moral, pedoman falsafi,
yang membimbing manusia Minahasa dalam kehidupan berbangsa.
Ditinjau dari perspektif kehidupan politik dan kenegaraan bangsa, maka
pada hakekatnya “Sitou Timou Tumou Tou” dapat dipandang sebagai
perwujudan dan intisari pemikiran, sikap dan perilaku politik
pencetusnya DR.G.S.S.J. Ratu Langi. Hal tu dapat dipahami dari segi
budaya politik yang menunjukkan nilai-nilai apa yang berkembang dan
mempengaruhi pemikiran, sikap dan perilaku orang Minahasa di bidang
politik/kenegaraan. Melalui pendekatan seperti itu, “Sitou Timou Tumou
Tou” merupakan kristalisasi nilai-nilai yang bersumber dari budaya dan
pengalaman sejarah Tou Minahasa.
Hal ini mempunyai hanya satu arti, bahwa peningkatan peranserta Tou Minahasa
di bidang politik harus bertolak dari ciri budaya politik tersebut.
Pada dasarnya upaya peningkatan peranserta itu adalah suatu upaya
meningkatkan kualitas Tou Minahasa sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Dengan demikian dapat ditamplkan profil Manusia Minahasa yang Ngaasan (cerdas, trampil, inovatif, kreatif), Niatean (memiliki hati,peka)dan Mawai (kuat bukan sembarang kuat).
Dapat disimpulkan bahwa dalam rangka peningkatan peransertanya di
bidang politik/kenegaraan, dengan tetap berupaya memiliki jatidirinya,
masyarakat Minahasa perlu terus mawas diri dengan senantiasa mengkaji
kemampuan dan kelemahannya, kendala dan peluangnya, agar dapat
mengantisipasi perannya di masa depan dengan kemampuan menyesuaikan diri
secara arif dan bijaksana, sehingga dapat diterima oleh semua pihak.
Peranan Tou
Minahasa di bidang ekonomi nasional, didikte oleh prinsip-prinsip dasar
kemajuan ekonomi. Memahami proses kemajuan itu berarti mampu memahami
hukum-hukum (termasuk kecenderungan dan premis) yang berguna dalam
menyusun strategi dan program yang efektif untuk meningkatkan peranan.
Melihat kondisi masyarakat kawanua yang relative sedikit, strategi yang
dipandang tepat adalah yang tidak mengandalkan massa, kekuatan fisik, tetapi mengandalkan kualitas, penalaran dan tenaga dalam seperti yang disarankan Sun Tzu.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kunci keberhasilan terletak pada
peranan kualitas sumber daya manusia yang mengungguli kekayaan sumber
daya alam dalam proses kemajuan.
~ copas dari: http://happycristian.blogspot.com