وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِين
Dan diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah
dan Hari Akhir", padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.
1). Di sini ada pengakuan dan ada penyangkalan. Diantara manusia ada
yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Tetapi Allah sendiri
yang kemudian menyangkalnya. Menunjukkan bahwa menusia ( di dunia ini)
benar-benar merdeka untuk melakukan apa saja dan mengatakan apa saja
sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Ini yang disebut free-will
(kehendak-bebas), yang merupakan karunia terbesar Allah kepada manusia,
yang tidak diberikan kepada hewan manapun. Saking bebasnya, manusia
bisa mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta sekalipun. Manusia bisa
menyebarkan kebohongan, ketidakbenaran, yang isinya tak lebih dari
provokasi, agitasi, manipulasi, dan iklan murahan. Dan supaya free-will itu bisa diterapkan, sehingga tidak hanya berhenti pada konsep, Allah pun memberikan karunia dalam bentuk free-choice
(pilihan bebas): ya atau tidak, syukur atau kufur, mengakui Tuhan atau
menolaknya, taat atau menentang. Di titik inilah nanti manusia dimintai
pertanggung jawaban atas pilihan-pilihannya, karena di balik
kehendak-bebas tersebut—agar tidak salah pilih—Allah mengaruniakan alat
yang luar biasa: qalbu-pendengaran-penglihatan (yang telah dibahas pada
ayat sebelumnya). Sehingga, pada saatnya nanti kita melihat bahwa bukan
perbuatan manusia yang dimintai pertanggungjawaban tapi alasan kenapa
melakukan perbuatan tersebut.
2). Tetapi dibalik kehendak-bebas yang dimiliki manusia, Allah juga
punya otoritas dan prerogative untuk melakukan penilaian. Dan penilaian
Dia adalah penilaian yang benar, penilaian yang tak memiliki cacat
sedikitpun, sesuai dengan sifat-sifat ketuhanan yang dimiliki-Nya. Pertanyaannya kemudian: yang namanya penilaian pasti ada standarnya, ada
parameternya, lalu apa parameter yang Allah gunakan dalam menerapkan
otoritas dan prerogative penilaian-Nya tersebut? (Kalau parameter ini
tidak jelas, tentu Allah menganiaya hamba-Nya). Di sini kita berjumpa
kembali urgensi Kitab Suci. Jadi selain fungsinya sebagai PETUNJUK,
al-Qur’an juga berfungsi sebagai HUKUM, yang kepadanyalah nanti Allah
merujukkan penilaian-Nya tersebut.
3). Penyangkalan Allah terhadap pengakuan keberimanan mereka,
mengajarkan kepada kita bahwa iman itu tidak cukup dengan pengakuan.
Iman itu ialah konsistensi atau garis lurus yang menghubungkan antara
tiga titik: perbuatan-perkataan-jiwa. Cara membacanya begini: perbuatan
itu adalah refleksi dari perkataan dan perkataan itu adalah refleksi
dari jiwa. Jadi jiwalah yang menjadi awal dari semuanya, sehingga jiwa
pulalah yang berfungsi sebagai mesin pendorong dari perbuatan tersebut.
Maka kalau ada orang yang mengaku beriman tetapi pengakuannya itu belum
landing di jiwanya, pada hakikatnya belum beriman.
Ingatlah, lidah kita lebih terlatih daripada jiwa kita. Karena keterampilan berbicara kita mendahului 15 tahun usia akil balig kita. Maka agar keterampilan jiwa kita bisa mengejar keterampilan berbicara kita, hendaknya lebih banyak berfikir atau merenung ketimbang berbicara. “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya berbicara yang baik-baik (saja). Atau (kalau tidak bisa, maka lebih baik) diam.” (al-Hadits)
No comments:
Post a Comment