وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُواْ أَنُؤْمِنُ
كَمَا آمَنَ السُّفَهَاء أَلا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاء وَلَكِن لاَّ
يَعْلَمُون
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kalian sebagaimana
manusia (lain) beriman", mereka menjawab: "Pantaskah kami beriman
sebagaimana orang-orang bodoh itu beriman?" Ketahuilah, sungguh
merekalah orang-orang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui
1). Orang yang menjadikan dirinya sebagai tolak ukur kebenaran, akan
menilai orang lain yang tidak sama dengan dirinya sebagai tidak benar.
Di sinilah berawalnya egoisme (bangga diri) dan fanatisme (bangga
kelompok). Kalau begitu, lalu apa yang menjadi tolak ukur kebenaran?
Tolak ukur kebenaran adalah Kebenaran itu sendiri. Kebenaran adalah
suatu entitas yang berdiri sendiri, yang tidak membutuhkan yang lain.
Kebenaran (al-Haq) itu tunggal (ahad), universal (kulli), sederhana
(basith) dan meliputi (muhith). Maka Kebenaran itu tidak pernah tidak
ada, karena tidak membutuhkan syarat apapun demi keberadaannya. Untuk
itu, Kebenaran tidak perlu dicari, pun tidak perlu ditemukan.
2). Bila kita menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata السُّفَهَاء
(as-sufahā’, orang-orang bodoh) atau yang seasal kata dengannya, maka
makna yang bisa difahami daripadanya ialah “ketidaktahuan” (yakni tidak
punya ilmu). Sementara ilmu ini merupakan syarat pertama dan utama untuk
sampai kepada tingkatan iman dan yaqin. Coba simak ayat ini:
“Benar-benar rugilah orang-orang yang membunuh anak-anaknya karena bodoh
(yaitu) tanpa ilmu, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah
rezekikan kepadanya dengan mengada-adakan (dalih atau alasan yang
dibuat-buat) atas nama Allah. Benar-benar mereka telah sesat dan mereka
tidak (pantas) mendapat petunjuk.” (6:140) Ketidaktahuan atau kebodohan
inilah yang mengantarkan manusia kepada penolakan terhadap kebenaran,
dan bukan karena Kebenaran itu sendiri bermasalah. Dan Kebenaran itu
aksiomatik (badihi), maka masuk akal jikalau al-Qur’an menyebut orang
yang menolak Kebenaran sebagai “membodohi dirinya sendiri”, sebab pada
hakikatnya sama saja dengan mengingkari eksistensi dirinya sendiri.
3). Ketika berbicara soal al-fāsad (kerusakan) di ayat 12, Allah
mengakhiri ayat itu dengan penggalan: lā yasy’uruwn (mereka tidak
menyadari). Hal yang sama ketika membincang soal “menipu Allah”, juga
diakhiri dengan: mā yasy’uruwn (mereka tidak menyadari). Tetapi ketika
menjelaskan tentang iman dan kebodohan di ayat 13 ini, Allah
mengakhirinya dengan klausa: lā ya’lamuwn (mereka tidak mengetahui).
Inilah diantara kelebihan al-Qur’an; yaitu konsistensinya menganut
epistemologi yang dibangunnya sendiri. Apabila berkenaan dengan
“merasakan” (misalnya) banjir sebagai dampak dari penggundulan hutan
atau split personality (keterpecahan pribadi) akibat kesenangan
berdusta, maka yang cocok adalah “menyadari”. Karena keadaan
“menyadari” terjadi manakala subyek yang “merasakan” sudah bersua dengan
obyek yang “dirasakan”. Sehingga di sana tidak ada lagi jarak
psikologis. Sementara kerja “mengetahui” dibutuhkan saat menguak
rahasia-rahasia.
4). Dengan melihat penjelasan pada poin 1, 2, dan 3, dapat dimengerti
betapa berbahayanya apabila kekuasaan berada di tangan orang seperti
ini. Inilah yang menjelaskan kenapa manusia dan kemanusiaan selama ini
hanya menjadi pelengkap penderita belaka dari kekuasaan mereka. Yang ada
hanyalah diri mereka saja. Yang lain tidak dihitung. Yang lain
diisolasi, dipojokkan, diputus akses-akesnya, dengan alasan (dan dengan
dicitrakan bahwa) mereka adalah السُّفَهَاء (as-sufahā’, orang-orang
bodoh). Maka supaya jangan termakan oleh ‘iklan murahan’ mereka, sejak
awal Allah mengingatkan kita semua: Ketahuilah, sungguh merekalah
orang-orang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui. Sehingga kalau kita
selama ini menjadi korban kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan
ekonomi-politik mereka, itu semata karena kesalahan kita sendiri yang
tidak mau menjadikan al-Qur’an sebagai kacamata untuk melihat realitas
yang berlangsung di sekitar kita. Al-Qur’an hanya diagungkan tapi tidak
pernah direnungkan.
Anda boleh merasa benar, tapi jangan mudah menuduh orang lain tidak benar. Karena Anda nanti berhak disebut benar manakala sudah sampai kepada Kebenaran sejati. Dan itu hanya terjadi jikalau Anda telah “mengetahui”-Nya, “menyadari”-Nya, dan “merasakan”-Nya. Hebatnya lagi, setelah sampai di Sana, Anda justru tidak lagi membutuhkan “klaim”. Karena Kebenaran tidak butuh kepada apapun dan siapapun.
No comments:
Post a Comment