وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ
إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ
مُسْتَهْزِؤُونَ
Dan apabila mereka berjumpa orang-orang yang beriman, mereka mengatakan:
‘Kami telah beriman.’ Dan apabila mereka kembali kepada
syaitan-syaitannya, mereka mengatakan: ‘Sungguh kami (tetap) bersama
kalian, hanya saja kami memperolok-olok (mereka)’.
1). Ayat ini kembali menekankan dan sekaligus mengingatkan bahwa
argument-argumen yang mereka gunakan sebelumnya (ayat 11, 12, dan 13)
adalah bagian dari caranya menipu Allah dan orang-orang beriman (ayat
9). Bagi mereka orang beriman itu adalah orang-orang yang bodoh,
kerjanya hanya merusak di bumi; sementara mereka adalah orang-orang yang
pintar, kerjanya membangun kehidupan manusia; dan karenanya hanya
mereka sajalah yang pantas jadi penguasa, yang pantas mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya alam; orang beriman cukup di pojok-pojok
masjid yang kerjanya sekedar beribadah kepada Tuhannya. Ayat ini sudah merupakan pemberitahuan terbuka kepada orang-orang
beriman agar tidak mempercayai mereka. Sekali percaya kepada mereka,
niscaya akan tertipu selama-lamanya.
2). Di dalam al-Qur’an kita menemukan banyak sekali ayat yang membongkar
kedok orang-orang munafiq. Tentu saja tujuannya jelas; yaitu caranya
Allah menunjukkan cinta dan kasihnya kepada manusia, makhluk-Nya yang
ketika menciptakannya Dia memerintahkan seluruh penghuni alam malakut
bersujud kepadanya (2:30-34, 7:11, 15:28-29, 38:71-72). Allah tahu bahwa
jikalau mereka berkuasa, tidak saja mengeksploitasi sumber daya alam
semuanya, tapi juga mengeksploitasi sesamanya manusia. Alih-alih mereka
menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan dan memperbaiki
harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan, mereka bahkan
menggunakannya hanya untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya demi
memperkuat diri dan kelompoknya agar kelangsungan dinasti mereka tetap
terjaga. ‘Iman’ dan ‘ibadah’ mereka tidak lebih dari pembungkus belaka
untuk menutupi jati diri mereka yang sesungguhnya.
3). Yang menarik, di ayat ini Allah menyebut mereka sebagai syaitan,
padahal mereka bukan jin yang bergentayangan. Bisa difahami bahwa
syaitan itu tidak harus berbentuk makhluk ‘halus’. Manusia bisa jadi
syaitan. Buktinya, Allah menyebut orang-orang munafiq itu sebagai
syaitan-syaitan. Syaitan itu, kata Allah, adalah minal jinnati wan-nās
(dari kalangan jin dan manusia, 114:6). Maka siapapun, berpotensi jadi
syaitan. Bahkan syaitan yang dimaksud al-Qur’an justru kebanyakan dari
kalangan manusia. Karena, menurut al-Qur’an, syaitan itu adalah “musuh
yang nyata bagi kalian” (2:168 dan 208, 6:142, 7:22, 12:5, 28:15, 36:60,
43:62). Kalau jin yang bergentayangan, tentu tidak nyata. Syaitan ini,
kata Allah, adalah musuh manusia, musuh orang beriman, sehingga kitapun
diminta untuk menjadikan syaitan itu sebagai musuh: “Sungguh syaitan itu
adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena
sesungguhnya syaitan itu hanya mengajak golongannya untuk(sama-sama)
menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (35:6)
4). Setelah Allah mengidentifikasi orang-orang munafiq sama dengan
syaitan, kini menjadi jelas bagi kita kenapa mereka menjadikan agama dan
orang-orang mukmin hanya sebagai barang olok-olokan atau permaian
belaka saja. Allah ingin mengatakan, memilih mereka sama dengan memilih
syaitan. Memilih syaitan sama dengan turut memperolok-olok dan
mempermainkan agama. Turut memperolok-olok dan mempermainkan agama sama
dengan turut melakukan kejahatan terhadap manusia dan kemanusiaan.
Ujung-ujungnya, kelak akan bersama dengan para syaitan itu di dalam
neraka yang menyala-nyala. Untuk itu Allah berpesan: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
pemimpin yang (kepadanya) kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
tentang Muhammad dan orang mukmin), karena persahabatan(mu dengan
mereka); padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu (hanya)
karena kalian beriman kepada Allah, Tuhanmu…” (60:1)
Kita boleh bergaul dengan siapa saja. Tetapi tetaplah waspada. Kita wajib menyelamatkan diri kita, tapi lebih wajib lagi menyelamatkan agama kita. Karena di dalam agama itulah terletak kebahgiaan dan kesejahteraan manusia dunia dan akhirat. Maka selalulah memperhatikan dengan siapa Anda bersahabat. Kata Sayyidina Ali kw, manusia dinilai dengan siapa dia bersahabat.
No comments:
Post a Comment