إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ
1). Sekarang kita bicara soal golongan manusia yang kedua, yakni golongan yang ingkar, golongan yang menutup diri terhadap kebenaran al-Qur’an sebagai PETUNJUK. Kata كَفَرُواْ (kafaruw) di ayat ini kita terjemahkan dengan “mengingkari” (dan bukan “kafir” seperti pada kebanyakan terjemahan yang beredar) dengan pertimbangan, kata كَفَرُواْ (kafaruw) adalah fi’il madhi (kata kerja lampau) dan bukan fa’il (pelaku). Ini untuk mempertegas bahwa kekafiran (atau perbuatan kafir atau perbuatan ingkar yang mereka lakukan) bukan karena ketetapan Allah, tetapi karena pilihan sadar mereka sendiri. Ini penting agar tidak salah memahami nanti ayat berikutnya (ayat 7).
2). Ayat ini menekankan pentingnya terlebih dahulu mengimani dengan benar dan sungguh-sungguh al-Qur’an baru bisa menjadikannya sebagai PETUNJUK (hudan). Apabila di alam bawah dasar kita masih ada terselip sedikit keraguan padanya, maka kalau kita tidak menolaknya secara keseluruhan (kafir), niscaya kita akan menolaknya sebagian (fasik). “Apakah kalian mengimani sebahagian (ajaran) Al Kitab dan mengingkari sebahagian (yang lain)? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian diantara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat.” (2:85). Inilah yang dimaksud golongan الضَّالِّينَ (ad-dhallyn, tersesat) di S. al-Fatihah (1) ayat 7. Yaitu mereka yang berjalan, tapi tidak mengerti kea rah mana mereka berjalan, karena mereka menolak atau hanya menerima sebagian dari PETA (petunjuk) perjalanan tersebut. Dan kalau beragama seperti ini, cenderung yang diambil dari ajaran Kitab Suci hanyalah ibadah ritualnya belaka saja, yang dianggap paling aman dan paling menguntungkan hawa nafsu.
3). Muncul dilema di sini: Duluan mana iman daripada ilmu. Karena kalau kita dituntut mengimani terlebih dahulu Kitab Suci baru kemudian kita bisa menjadikannya sebagai sumber ilmu, lalu apa alasan keberimanan kita. Bukankah keberimanan tanpa alasan (ilmu) adalah dogma? Disinilah kita menyadari pentingnya keberurutan (hirarki) dalam beragama. Yaitu bahwa sebelum mengimani Kitab Suci, kita terlebih dahulu harus mengimani Pembawa Kitab Suci tersebut: Rasul. Disinilah letak urgennya mebahas soal kenabian terlebih dahulu. Karena bagaimana mungkin mengimani apa yang dibawanya kalau yang membawanya sendiri kita tidak percaya? Maka ilmu dan pengetahuan kita tentang kenabian—yang berakhir pada keberimanan kepadanya—sangat menentukan akan penerimaan kita pada Kitab Suci yang dibawahnya. Selanjutnya, ilmu kita tentang kenabian sangat tergantung kepada ilmu kita pada Yang Mengutusnya. Karena bagaimana kita bisa percaya adanya utusan jikalau tidak percaya pada adanya yang mengutus. Di sinilah pentingnya pengetahuan tentang ketuhanan. Dan inilah pengetahuan pertama dan utama dalam mengimani Kitab Suci, bahkan mengimani agama secara keseluruhan. Ingat pembahasan kita di Surat al-Fatihah: awwaluddin ma’rifatullah (awal dari agama adalah mengenal Allah). Itu sebabnya pembahasan pertama di Surat al-Fatihah adalah tentang Allah, tentang Rabbbul ‘Alamain. Baru kemudian tentang orang-orang yang diberi nikmat agama (Kitab Suci) kepada mereka (an’amta ‘alayhim). Setelah itu, masuk Surat al-Baqarah, langsung berbicara soal al-Kitab yang berfungsi sebagai hudan lil muttaqyn (PETUNJUK bagi orang bertaqwa).
4). Orang yang tidak mengimani Kitab Suci, tidak akan berguna ajaran-ajaran Kitab Suci baginya. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima ajaran dari sesuatu kalau sesuatu itu secara apriori sudah ditolaknya. Maka, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan (dengan PETUNJUK itu), mereka tidak akan mengimani (ajaran PETUNJUK tersebut). Ayat ini mengajarkan satu prinsip penting dalam menjalani kehidupan. Yaitu, apabila kita hendak menasehati atau menyampaikan suatu kebenaran kepada seseorang—termasuk kepada orang terdekat kita—maka yang pertama sekali harus kita lakukan ialah menggugah kesadaran mereka untuk mengetahui. Karena pembeda utama antara manusia dan hewan adalah “sifat ingin tahu”-nya. Itu sebabnya, yang pertama sekali Allah wahyukan dan sekaligus perintahkan ialah “iqra’” (perintah membaca). Jikalau agama sudah mematikan “sifat ingin tahu” ini melalui dogma-dogma yang diciptakannya sendiri, maka agama berubah menjadi robot yang menakutkan: agama bukan lagi katalisator kemerdekaan, tapi telah menjadi diktator yang memenjarakan. Pada titik inilah agama sangat disenangi oleh penguasa korup, sebab agama menjadi alat yang sangat efektif untuk melestarikan monarki dan ketidakadilan.
AMALAN PRAKTIS
Awal dari agama adalah “mengenal Allah”. Dan awal dari mengenal Allah adalah dengan “mengenal DIRI” sendiri. Maka apabila Anda ingin dimudahkan menerima seluruh ajaran al-Qur’an, perbanyaklah kontemplasi dan perenungan. Siapkan waktu-waktu tertentu untuk menyendiri dan menarik diri dari ‘keramaian’. Di sana, renungkanlah secara saksama, siapa DIRI Anda yang sesungguhnya: dari mana, dimana, dan akan kemana
No comments:
Post a Comment