يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ
Mereka (bermaksud) menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal
tiadalah yang mereka tipu kecuali dirinya sendiri, cuma mereka tidak
menyadari.
1). Maksud yang mereka pendam di benaknya inilah yang menyebabkan golongan
manusia jenis ketiga ini mendapat catatan penting dari al-Qur’an.
Karena, sejujurnya, kebohongan bisa kita temukan dimana-mana dan di
setiap saat. Orang yang mendua antara perkataan dan hatinya dengan mudah
kita jumpai di sekitar kita. Tetapi manusia yang dibincang oleh ayat 8
hingga ayat 20, lain daripada yang lain.
Coba perhatikan betapa sangarnya “maksud” yang mereka pendam itu: hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman.
Tidak tanggung-tanggung, yang mereka mau tipu bukan istri, bukan suami,
bukan teman, bukan majikannya, tetapi Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan
yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui. Hebat sekali.
Artinya, kalau Allah saja mereka berani tipu, apalagi kalau cuma
sesamanya manusia.
2). Di ayat ini Allah menyandingkan diri-Nya dengan orang-orang yang
beriman. Ini berarti orang yang beriman yang dimaksud pasti bukan dalam
pengertiannya yang predikatif, bukan sekedar penyandang gelar “orang
beriman”. Penyandingan dirinya dengan orang beriman menunjukkan bahwa
orang beriman yang dimaksud bukan orang sembarangan, melainkan mereka
yang menenggelamkan seluruh cita-cita hidupnya ke dalam bahtera
penegakan Pemerintahan Allah di dalam dada-dada manusia. Mereka yang
telah mengidentifikasi dirinya secara istiqomah bersama shiratal-ladzyna
an’amta ‘alayhim (1:7)—yaitu para nabi, shiddiqyn, syuhada, dan
orang-orang saleh. Maka yang dimaksud dengan “menipu Allah dan
orang-orang yang beriman” ialah menipu cita-cita mereka agar cita-cita
mereka tersebut tidak terwujud di muka bumi, sehingga para penipu ini
tetap bisa berkeliaran dengan merusak dan memperdaya manusia.
3). Klausa “padahal tiadalah yang mereka tipu kecuali dirinya sendiri”
menunjukkan bahwa setiap keburukan dan kejahatan yang kita lakukan
selalu yang paling pertama jadi korbannya adalah diri sendiri. “Jika
kalian berbuat baik (berarti) kalian berbuat baik bagi dirimu sendiri
dan jika kalian berbuat jahat maka kejahatan itu (pun) bagi dirimu
sendiri…” (17:7). Sehingga, pada dasarnya tidak ada pelaku kejahatan
yang berhasil. Karena hakikatnya mereka hanya menipu diri sendiri.
Penjelasannya: tidak ada perbuatan bertujuan yang terjadi secara
refleksif; semua perbuatan bertujuan—sebelum jadi perbuatan—pertama kali
muncul di hati pelakunya. Namanya niat atau rencana. Dan karena hati
sifatnya nonmateri, maka baru niat atau rencana saja pun sudah sama
pengaruhnya (terhadap jiwa) dengan melakukannya secara aktual. Maka
menyimpan niat atau rencana jahat pun sudah menghancurkan jiwa
pelakunya. Semakin banyak dan semakin sering kita berniat jahat semakin
rusak jiwa kita. Sementara yang disebut bahagia ialah saat jiwa hanya
dihuni oleh niat baik. Semakin banyak kita berniat baik semakin tinggi
tingkat kebahagiaan yang dirasakan.
4). Problem terbesar dalam diri manusia, kaitannya dengan perbuatan, adalah “kesadaran” (Arab: syu’uwr, Inggris: feeling, sentiment, awareness).
Karena sangat jamak terjadi dimana perbuatan mendahului kesadaran (akan
risiko atau dampak) dari perbuatan tersebut, bukan hanya oleh pelaku
perbuatan tersebut tapi juga oleh orang lain. Semakin sistematik suatu
perbuatan jahat semakin lama pula baru kelihatan dampak buruknya, juga
semakin sulit pula bagi masyarakat kebanyakan untuk mengenalinya. Dalam
konteks inilah, masyarakat atau massa paling sering jadi korbannya.
Perjalanan peradaban-peradaban adalah narasi timbul tenggelamnya
pelaku-pelaku kejahatan sistematis seperti ini. Kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah cerita horror yang menghiasi halaman panjang
buku-buku sejarah kemanusiaan kita. Itulah diantara sebab nabi demi nabi
di utus, agama demi agama dihadirkan: وَمَا يَشْعُرُونَ [dan
(sayangnya) mereka tidak menyadari]. Agar kejadian kelam seperti itu
tidak terus-menerus terulang, maka kenalilah mereka dengan baik: “Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (bermaksud) menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka
berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (4:142)
Agar kesadaran Anda tidak didahului oleh perbuatan Anda, maka simaklah secara saksama ayat demi ayat dari al-Qur’an. Karena di sana Allah—Penguasa yang tak diikat oleh ruang dan waktu—menuntun Anda menyambut masa depan yang masih ghaib oleh seluruh manusia. Kalau tidak, jangan-jangan—tanpa Anda sadari—Anda adalah termasuk orang yang sedang menipu Allah. Na’uzu billah…!!!
No comments:
Post a Comment