KEBERADAAN sebagian
makanan tradisional Nusantara makin tergeser oleh berbagai menu masakan
modern. Bahkan, sejumlah menu masakan tradisional bisa tergeser
eksistensinya oleh menu tradisional lainnya yang lebih terkenal karena
sudah banyak dibuat dan dipopulerkan oleh para peramu kuliner
tradisional.
Jumlah menu masakan tradisional dari suatu provinsi
saja sudah melimpah ruah. Apalagi jika dihitung secara nasional.
Sepertinya para ahli memasak se-Indonesia akan kewalahan jika diminta
untuk menggali kembali semua resep makanan tradisional di seluruh
Nusantara dan menghadirkannya kembali di tengah masyarakat.
Bahan
baku atau beberapa rempah-rempah untuk memasak sejumlah menu
tradisional yang sulit dicari di pasaran menjadi salah satu penghambat
untuk membuat kembali menu tradisional tersebut. Mereka pun akhirnya
hanya memasak menu tradisional yang sudah populer seperti sayur asem,
ayam goreng kunyit, atau gurame bakar saus kecap.
Nah, siapa yang
masih memasak menu tradisional Sunda buhun seperti tumis ampas kecap,
oseng picung, kadedemes sampeu, dan sambal daun tangkil di rumahnya?
Sejumlah menu khas Sunda ini sepertinya mulai ditinggalkan, khususnya
oleh warga yang tinggal di perkotaan karena bahan bakunya yang sulit
didapat.
Chef Lily dari Hotel Jayakarta, yang mengikuti
kegiatan pemecahan rekor MURI penyajian 99 masakan tradisional di Kota
Baru Parahyangan, Minggu (18/3), mengatakan bahan baku tumis ampas kecap
berupa kedelai hitam yang telah difermentasikan untuk pembuatan kecap
sulit didapat di perkotaan.
"Padahal tumis ampas kecap adalah
resep turun-temurun yang seharusnya bisa dilestarikan. Peminatnya juga
sangat banyak. Masakan tradisional Sunda buhun memang salah satu menu
yang paling diincar oleh pengunjung hotel kami. Mereka sangat menikmati
cita rasa tradisional yang tertuang dalam berbagai masakan tradisional,"
kata Lily saat ditemui dalam acara tersebut.
Sebanyak 99 persen
komentar dari para pengunjung Hotel Jayakarta yang merasakan masakan
tradisional Sunda buhun, ucapnya, sangat positif. Mereka merasa sangat
menikmati masakan ini dan seolah-olah terbawa kembali ke masa lalu
ketika menyantap makanan serupa di kampung halamannya dulu.
Kreativitas warga dan para
chef pun
menentukan eksistensi masakan buhun. Sebab, lambat-laun, mau tidak mau,
masakan buhun akan tergeser oleh jenis masakan lainnya. Hal tersebut
akan terjadi jika rasa dan kreasinya tidak diolah sedemikian rupa
sehingga tidak sesuai dengan lidah orang masa kini yang sudah dimanjakan
dengan berbagai menu lainnya yang lebih populer.
Pada acara pemecahan rekor ini, Lily dan
chef lainnya
dari Hotel Jayakarta menyajikan menu andalan dengan resep masakan
buhun, yakni tumis ampas kecap yang dikreasikan dengan potongan cabai
hijau, oseng picung dengan petai, kadedemes sampeu yang terbuat dari
kulit singkong, sambal daun tangkil khas Kuningan, pelas ikan peda, dan
pindang ikan mas khas Majalaya bertabur potongan kunyit yang
nyakrek. Para
chef harus menjelaskan kembali menu-menu buhun ini kepada pengunjung karena banyak yang tidak mengenalnya.
Seorang
pengunjung acara tersebut yang mengambil makanan khas Jawa Barat ini,
Salma (34), mengatakan dirinya merasa senang karena bisa menemukan
masakan favoritnya dulu, yakni tumis ampas kecap dan pindang ikan mas.
Dia pun merasa terkejut ketika mencoba sambal daun tangkil yang
menurutnya hasil kreasi yang unik dan enak.
"Terakhir kali saya
makan tumis ampas kecap itu pas saya belum menikah. Saya malahan sempat
lupa kalau makanan ini favorit saya. Mungkin gara-gara ampas kecapnya
yang sulit didapat di Bandung, ya. Picungnya juga mirip masakan ibu saya
dulu. Kampungan sih kata orang mah menunya. Tapi da enak," kata
perempuan kelahiran Sumedang ini.
Menurut dia, masyarakat kini
memiliki pengetahuan tentang masakan tradisional yang cenderung
menyempit. Kebanyakan hanya mengetahui berbagai masakan tradisional yang
populer, sedangkan berbagai masakan tradisional yang bahan bakunya
sulit didapat cenderung ditinggalkan.
Indonesian Chef Association (ICA) BPD Jawa Barat berhasil memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan membuat deretan
buffet berisi 99 menu masakan tradisional Indonesia dari 33 provinsi dan dikerjakan oleh 33
executive chef dari 33 hotel berbintang di Jawa Barat.
Pemecahan
rekor ini merupakan bagian dari rangkaian acara Localicious Chef and
Food Festival di Bale Pare, Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten
Bandung Barat, Minggu (18/3). Kegiatan ini dihadiri ratusan warga yang
bisa mencicipi 99 menu tersebut dengan pola penyajian
all you can eat di Exhibition Hall Bale Pare.
Pada proses pemecahan rekor, para
chef terlebih dulu mempersiapkan berbagai bahan dan mengolahnya dalam tahapan persiapan di hotel masing-masing. Kemudian,
finishing,
yang merupakan proses memasak, dilakukan di kawasan Bale Pare sejak
pukul 07.00 sampai dua jam kemudian. Proses memasak pun diawasi ketat
oleh tim dari MURI.
Kepala Pengembangan Sumberdaya Manusia ICA
BPD Jawa Barat, Rohendi, mengatakan pembuatan rekor tersebut telah ada
tahun lalu di Jakarta. Dengan adanya pemecahan rekor ini, ICA berhasil
merebut gelar tersebut dengan menyajikan 2.475 porsi dari total 99 jenis
masakan.
"Kesulitan dalam pemecahan rekor ini adalah mengumpulkan 33
executive chef dalam satu waktu dan tempat karena sebenarnya jadwal mereka berbeda-beda. Setelah dibicarakan, setiap
chef sepakat
akan membuat tiga menu masakan tradisional dari setiap provinsi.
Akhirnya, kami berhasil memecahkan rekor ini," kata Rohendi saat ditemui
di sela kegiatan pemecahan rekor.
Manajer MURI, Jusuf Ngadri,
mengatakan pemecahan rekor lainnya dengan kategori penyajian berbagai
jenis masakan Nusantara masih terbuka lebar. Sebab, dalam acara
pemecahan rekor oleh ICA ini, hanya disajikan tiga menu masakan dari
tiap provinsi.
"Contohnya, dari Jawa Barat saja hanya ditampilkan
tiga menu tradisional pada acara pemecahan rekor ini. Padahal, terdapat
puluhan bahkan lebih menu masakan tradisional di Jawa Barat yang bisa
digali dan dimunculkan kembali kepada masyarakat," kata Jusuf.
(*)
Penulis : sam
Editor : dar