Friday, November 9, 2012

09/11 QS. AL-BAQARAH (2) : 23

وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

 Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan atas apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)—yaitu al-Qur'an—maka buatlah satu surat (saja) yang semisal dengannya dan ajaklah ahli-ahli kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.

 1). Saat membahas klausa Lā rayba fyhi (tidak ada keraguan di dalamnya) di ayat 2 poin 3, kita sampaikan bahwa manusia boleh meragukan pernyataan ini. Ingat, “ragu” adalah salah satu hak asasi manusia yang paling penting; ini tidak kita temukan pada hewan manapun. “Ragu” adalah jembatan satu-satunya yang bisa mengantarkan seseorang kepada rumah permanennya yang bernama “yaqin”. Dan, melalui ayat 23 ini, kita lihat betapa al-Qur’an menghargai hak asasi itu. Kalau Allah saja ‘berlapang-dada’ mempersilahkan manusia menggunakan hak asasinya untuk meragukan Kitab Suci-Nya, lalu pantaskah kita yang penuh kebodohan dan kekurangan ini bersempit dada dalam menerima keraguan seseorang, dalam menerima perbedaan? Hanya saja—ini yang perlu dicatat—Allah mengajak manusia untuk menggunakan hak ‘ragu’-nya secara rasional. Yaitu dengan membuktikan keraguannya tersebut. Karena pada dasarnya, orang yang ragu adalah “orang yang tahu jawaban yang sebenarnya”. Orang yang ragu adalah orang yang sedang melakukan penilaian (tashdiq, assessment). Dan orang yang sedang melakukan penilaian adalah orang yang sedang berfikir. Maka “berfikir” dan “ragu“ adalah dua hal yang benar-benar identik dan tak terpisahkan. ”Berfikir” dan “ragu” adalah gerak maju yang dilakukan aqal dari yang maklum (yang sudah diketahui) menuju ke yang majhul (yang belum diketahui). Sehingga orang yang tidak punya konsep awal di pikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya, maka hanya ada dua kemungkinan baginya dalam menyikapi sesuatu tersebut: menerima mentah-mentah (dogmaik) atau menolak bulat-bulat (fanatik).

Huruf إِن (in, if, jika) di awal ayat, dalam bahasa, disebut in syarath (huruf in yang digunakan untuk mengajukan syarat), dan karenanya disusul dengan huruf فَ (fa’, then, maka) yang disebut fa’ rabith (fa’ pengikat) yang fungsinya mengikat antara syarath dan jawāb syarath (jawaban atas syarat yang diajukan). Artinya, Allah hendak mengatakan, kalau menurut Anda al-Qur’an ini adalah meragukan, maka silahkan meragukannya secara rasional. Anda pasti punya konsep (jawāb syarath) di pikirannya tentang ‘Kitab Suci’ lain yang ‘benar’ itu, yang menjadi penyebab atau syarath keraguan Anda. Yaitu tunjukkan bukti keraguan Anda dengan menghadirkan ‘Kitab Suci’ yang menurut Anda ‘benar’ itu. Dan Allah tidak menuntut Anda membuat ‘Kitab Suci’ setebal al-Qur’an yang 114 surat ini; cukup bikin satu surat saja. Allah juga tidak menuntut Anda melakukannya seorang diri; panggil seluruh pakar—termasuk dari kalangan jin (17:88)—untuk bekerja sama membuat yang satu surat itu. Kalau ternyata tidak mampu, maka itu bukan “ragu” tapi “ingkar”. Karena “ragu” yang benar adalah “ragu” yang ber-syarath. Dan “ragu” yang ber-syarath adalah “ragu” yang memiliki jawāb syarath.


2). Di ayat ini Allah tidak secara langsung menyebut Kitab Suci-Nya dengan al-Qur’an, tapi menggunakan kata مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا (mimmā nazzalnā ‘alā ‘abdinā, apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami—Muhammad). Juga tidak menggunakan kalimat: apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami. Padahal apa yang Allah berikan kepada Rasul-Nya adalah wahyu. Dan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw adalah al-Qur’an. Maka penggunaan kata مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا (mimmā nazzalnā ‘alā ‘abdinā, apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami—Muhammad) hendak menjelaskan sifat ke-samawi-an dari al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an itu adalah sesuatu yang di-turun-kan dari ‘langit’ kepada hamba-Nya.
Jika kita sambung dengan ayat sebelumnya (ayat 22, poin 4), maka fungsi al-Qur’an itu ibarat ‘air’ yang ‘turun’ dari ‘langit’ yang akan menyirami ‘tanah’ yang ‘tandus’ sehingga dari tanah yang sebelumnya tandus, tumbuh menjadi tanah yang subur yang mengeluarkan berbagai macam buah-buahan sebagai rezki bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Maka jiwa-jiwa yang kering dan tandus hanya bisa disuburkan kembali dengan Kitab Suci yang datang dari ‘langit’ ini. Jumlah ‘air’ yang bisa ditampung suatu jiwa tergantung sejauh mana pemiliknya meluaskan jiwanya. Semakin lapang jiwanya semakin lapang pula tempat penampungan ‘air’-nya. “Allah tidak akan memikulkan beban kepada suatu jiwa kecuali yang sesuai dengan keluasan(jiwa)nya.” (2:233 dan 286, 4:84, 6:152, 7:42, 23:62, 65:7).

3). Ayat ini dimulai dengan huruf wāw ‘athaf (wāw sambung). Yaitu huruf wāw yang bermakna muthlaq jama’ (penggabungkan kata atau kalimat, menurut mazhab Bashrah) atau bermakna tartib (keberurutan kata atau kalimat, menurut mazhab Kufah). Pertanyaannya: wāw di sini adalah ‘athaf terhadap yang mana? Ada dua kemungkinan. Pertama, ‘athaf terhadap ayat 2. Sehingga bisa diurut begini: Itulah al-Kitab/al-Qur'an (yang) tidak ada keraguan padanya…(ayat 2) Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan atas apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)—yaitu al-Qur'an—maka buatlah satu surat (saja) yang semisal dengannya dan ajaklah ahli-ahli kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar (ayat 23). Kedua, ‘athaf terhadap ayat 21. Sehingga bisa digabung menjadi: Hai manusia, beribadalah kepada Tuhan kalian Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kalian bertaqwa (ayat 21).


4). Ayat ini ditutup dengan frase: إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (in kuntum shādiqiyn, jika kalian orang-orang yang benar). Pernyataan ini mengandung gugatan yang sangat tegas; yaitu meminta pertanggungjawaban intelektual terhadap setiap produk berfikir kita. Penggunaan kata صَادِقِينَ (shādiqiyn, orang-orang yang benar, dengan titik tekan pada kata “yang benar”) menunjukkan bahwa pertanggungjawaban itu diukur berdasarkan ukuran BENAR dan SALAH; dan ini jelas menjadi ranah logika. Pertanda, begitu pentingnya logika dalam membangun sebuah argumen. Tidak tanggung-tanggung, 40 kali Allah dalam al-Qur’an menggunakan frase ini, sama dengan jumlah malam kehadiran Nabi Musa di Gunung Tursina saat menerima wahyu (7:142). Bahkan di ayat berikut ini, Allah menyebut dengan jelas argumen yang dimaksud:
“قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِين ….. [qul hātuw burhānakum in kuntum shādiqiyn, katakanlah: “Tunjukkanlah argumen kalian, jika kalian mengaku BENAR.” (2:111 dan 27:64)].


AMALAN PRAKTIS
Apabila Anda meragukan satu kebenaran di dalam al-Qur’an, jangan takut. Allah melindungi hak “ragu” Anda. Cuma, buktikan keraguan Anda dengan membuat satu surat yang bisa menandingi kebenaran yang Anda ragukan. Kalau tidak, pertanda yang jelas bahwa Anda sebetulnya bukan “ragu” tapi “ingkar”. “Tunjukkanlah argumen kalian, jika kalian mengaku BENAR.” (2:111 dan 27:64).

No comments:

Post a Comment