Saturday, November 3, 2012

03/11 QS. AL-BAQARAH (2) : 17

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّا أَضَاءتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُونَ

 Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka tatkala (api itu) menerangi sekelilingnya Allah (tiba-tiba) menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkannya dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

1).  Ketika mengakhiri beberapa ciri orang bertaqwa, Allah menunjuk mereka dengan kata tunjuk أُوْلَئِكَ (uwlāika, mereka itulah)—isim isyārah lil ba’id (dalam bentuk jamak)—terhadap mereka yang menjalani hidupnya di atas PETUNJUK tersebut: Mereka itulah (orang-orang) yang (berjalan) menurut petunjuk dari Tuhannya (ayat 5). Jenis isim isyārah yang sama—أُوْلَئِكَ (uwlāika)—juga Allah gunakan setelah menjelaskan beberapa ciri orang munafiq: Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk (ayat 16). Seakan Allah hendak mendemontrasikan secara terbuka dan blak-blakan kedua golongan tersebut sehingga terpapar dengan jelas perbedaan keduanya. Tujuannya, supaya penyimak Kitab Suci tidak salah pilih. Yang bertaqwa menggunakan PETUNJUK-nya dengan benar, yang munafiq justru menjual PETUNJUK-nya dengan kesesatan. Terserah, pembaca al-Qur’an mau pilih yang mana…

 2). Sekarang (ayat 17) dan tiga ayat berikutnya (ayat 18-20) Allah menjelaskan gejala-gejala psikis orang munafiq agar kita memahami makna lahum adzābun alym (bagi mereka azab yang pedih, ayat 10) dan fiy thughyānihim ya’mahuwn (terombang-ambing dalam kesesatan, ayat 15). Karena ini menyangkut masalah yang tidak bisa dijangkau oleh panca-indra, menyangkut keadaan isi hati manusia, maka Allah menyampaikannya dalam bentuk perumpamaan (parable)—catatan: bentuk penyampaian seperti ini nanti sangat banyak kita temukan dalam al-Qur’an sejauh alasannya sama dengan yang disebutkan tadi. Di ayat ini, Allah mengumpamakan mereka sebagai penyulut api. Begitu apinya menyala, cahaya yang datang dari api tersebut menerangi lingkungan sekitarnya. Tetapi baru mereka mau menikmati cahaya terang tersebut, Allah tiba-tiba memamadamkannya, sehingga dengan serta-merta mereka kembali berada dalam kegelapan yang lebih pekat dari sebelumnya. Mereka semakin tidak bisa melihat, semakin kalut, dan semakin terombang-ambing dalam kegelapan.

3). Di ayat ini Allah menggunakan kata نُور (nuwr, cahaya) kaitannya dengan نَار (nār, api). Sementara di Surat an-Nuwr (24) ayat 35, Allah juga menyebut diri-Nya sebagai نُور (nuwr, cahaya): “Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak (pula) di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya (Allah adalah cahaya) di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Secara lahirian, Allah ingin menjelaskan bahwa semua cahaya yang tidak berasal dari Allah, akan padam, seperti cahaya yang keluar dari api permusuhan yang disulut di dalam hati orang-orang munafiq (2:17). Cahaya yang kekal hanya Caha-Nya (24:35). Secara batiniah, secara ontologis, Allah mewartakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah (memancar dari) Cahaya-Nya. Dan tiap-tiap cahaya yang padam pada hakikatnya bukan Cahaya. Karena segala sesuatu yang bisa terkena ketiadaan pada hakikatnya TIDAK ADA.

4). Ayat berikut ini memperjelas bahwa api yang dimaksud di ayat 7 ini adalah api peperangan dan sekaligus menjelaskan bahwa tiap kali api peperangan yang mereka sulut itu mati tiap itu juga mereka berpaling seraya membuat kerusakan yang lebih besar (seperti dijelaskan di poin 1). “Tiap kali mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya. Mereka (kemudian) berbuat kerusakan di muka bumi. Padahal Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (5:64) Api peperangan ini bermula di dalam diri mereka masing-masing. Jadi sebelum menyulut api peperangan di luar sana, mereka terlebih dulu menyulutnya di dalam jiwa meraka sendiri. Sehingga yang pertama kali terbakar adalah diri mereka sendiri juga. Inilah yang dimaksud dengan lahum adzābun alym (bagi mereka azab yang pedih, ayat 10) dan fiy thughyānihim ya’mahuwn (terombang-ambing dalam kesesatan, ayat 15). Dan kalu situasinya sudah seperti ini, qalbu mereka sudah pasti لاَّ يُبْصِرُونَ (mereka tidak melihat) lagi. Yang ada hanya ego dan hawa nafsu.

AMALAN PRAKTIS
Jiwa Anda adalah pelita hidup Anda. Maka janganlah memadamkannya seraya menggantinya dengan api peperangan kepada manusia dan kemanusiaan. Mendukung atau bahkan berdiam diri terhadap mereka yang memerangi manusia dan kemanusiaan pada dasarnya juga menyulut api itu di dalam jiwa Anda. Hasilnya: Anda akan merasakan azab yang pedih dan terombang-ambing dalam kesesatan.






No comments:

Post a Comment