Thursday, November 8, 2012

08/11 QS. AL-BAQARAH (2) : 22

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشاً وَالسَّمَاء بِنَاء وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

 (Dialah) Yang menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia mengeluarkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kalian mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu, padahal kalian mengetahui.


1). Penggunaan kata الَّذِي (alladziy, isim maushul, artinya “yang”) di awal kalimat menunjukkan bahwa ayat ini masih kelanjutan dari ayat sebelumnya. Yaitu masih merupakan ‘perbuatan’ dari رَبَّكُمُ (rabbakum, Rab kalian) yang karenanya manusia diseru untuk beribadah kepada-Nya. Yang menarik ialah, di ayat yang lalu, al-Qur’an menggunakan kata خَلَقَ (khalaqa, menciptakan)—lengkapnya: الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ (alladziy khalaqakum walladziyna min qoblikum, Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian)—dalam kaitannya dengan penciptaan manusia, sementara di ayat ini menggunakan kata جَعَلَ (ja’ala, menjadikan) dalam kaitannya dengan pemberian Tuhan kepada manusia dalam bentuk “bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap”.

Secara bahasa, خَلَقَ (khalaqa, menciptakan) artinya: to create, make, originate; to produce, engender, generate, bring about, cause, give rise to, yang bisa kita sederhanakan menjadi: menciptakan sesuatu sejak semula atau menjadi sebab awal maujudnya sesuatu. Sedangkan جَعَلَ (ja’ala, menjadikan) artinya: to make; to provide with; to begin, start, yakni membuat sesuatu dalam rangka menyediakan sesuatu itu kepada sesuatu yang lain yang sudah ada sebelumnya. Jadi sama-sama perbuatan (to make), tetapi bisa kita lihat bahwa perbuatan خَلَقَ (khalaqa, menciptakan) lebih dahulu daripada perbuatan جَعَلَ (ja’ala, menjadikan).

 Dari pengertian bahasa dan contoh ayat tadi bisa disimpulkan bahwa yang paling prinsip bagi Allah ialah penciptaan manusia, sehingga untuk itu Dia, رَبَّكُمُ (rabbakum, Rab kalian) menjadikan bumi dan langit beserta siklus kehidupan yang ada didalamnya semata-mata untuk kalian manusia. Allah seakan mau bilang begini: “Aku ciptakan semua yang ada ini (di langit dan di bumi) sebagai fasilitas hidup bagian kalian manusia supaya kalian bisa beribadah dengan fokus dan sungguh-sungguh kepada-Ku.”

2). Konsekuensinya, menjadi tidak masuk akal apabila manusia menjadikan أَندَاد (andād, bentuk jamak dari nidd yang artinya peer, equal, match, colleague, counterpart), sekutu dalam pengabdian kepada Allah, رَبَّكُمُ (rabbakum, Rab kalian). Itu sebabnya, setelah menyebutkan prinsipalitas penciptaan manusia dan penyediaan fasilitas hidup baginya, Allah lantas menekankan: فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ (fa lā taj’alu lillahi andādan wa antum ta’lamuwn, karena itu janganlah kalian mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu, padahal kalian mengetahui). Alasan tidak masuk akalnya juga bisa dilihat dari sisi substansialitasnya. Yakni, penerimaan akal bahwa yang namanya Tuhan itu harus tunggal serta menjadi sebab, sumber dan awal dari segala-galanya, berkonsekuensi pada pengakuan tak terhindarkan dari akal bahwa Dia-lah yang substansial dan apapun selain-Nya hanyalah aksidental belaka saja. Maka menjadikan selain-Nya sebagai obyek penyembahan atau ibadah, pada galibnya adalah pengkhianatan terhadap akal. Dan pengkhianatan terhadap akal adalah penganiayaan terhadap diri sendiri.

 3). Penutup ayat yang berbunyi: وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ (wa antum ta’lamuwn, padahal kalian mengetahui), menunjukkan bahwa rangkaian logika penciptaan manusia beserta fasilitas hidup yang disediakan kepadanya, seperti dijelaskan tadi, sejalan dengan ilmu pengetahuan manusia, sesederhana apapun ia. Maka perintah beribadah kepada-Nya saja, itulah yang paling rasional, paling logis, dan paling gampang dicerna oleh manusia normal manapun. Sebaliknya tidak beribadah kepada-Nya, terlebih lagi jikalau mempersekutukan-Nya, adalah perbuatan paling tidak masuk akal dan paling tidak bisa diterima oleh manusia normal manapun. Atas dasar argumen ini, al-Qur’an menyebut orang yang menolak mengibadahi-Nya sebagai kāfir atau ingkar; yaitu mengingkari logika dan rasionalitasnya sendiri. Dan itu sama saja dengan mengingkari eksistensinya sendiri, karena eksistensi manusia—dibanding hewan—bertumpu pada logika dan rasionalitasnya.

4). Penggunaan klausa وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاء مَاء [wa anzala mins-samā’I mā’a, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit], yang kemudian Dia mengeluarkan dengan air (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu, menerangkan bahwa ‘langit’ itulah yang menjadi sumber kehidupan. Sebab air adalah hal yang sangat vital dalam kehidupan, sementara air itu ‘turun’ dari ‘langit’. (Ingat pembahasan-pembahasan sebelumnya yang menyinggung tentang ‘langit’). “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah Arasy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kalian yang paling baik amalnya…” (11:7). Dan dengan air itu jugalah manusia diperintah untuk bersuci, serta dengan air itu juga orang beriman diperintah untuk thaharah dan wudlu sebelum salat. “… dan Allah menurunkan kepadamu air (hujan) dari langit untuk menyucikan kalian dengan air (hujan) itu serta menghilangkan darimu kotoran syetan, untuk menguatkan qalbumu dan memperteguh dengannya pendirian(mu).” (8:11).

AMALAN PRAKTIS
Apabila Anda berjalan di muka bumi seraya menyaksikan keindahan pemandangan alamnya, kekayaan flora dan faunanya, serta keluasan jagad rayanya, ingatlah bahwa semua itu Allah ciptakan untuk manusia, untuk Anda. Dan Allah tidak meminta upah dalam bentuk apapun kepada Anda. Allah hanya meminta Anda untuk beribadah kepada-Nya, yang juga demi kepentingan Anda sendiri.







No comments:

Post a Comment