Sunday, November 4, 2012

04/11 QS. AL-BAQARAH (2) : 18

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَرْجِعُونَ

 (Mereka) tuli, bisu, (dan) buta, maka mereka tidak akan kembali (ke jalan yang lurus, shirathal mustaqym).

1). Di ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa menghilangkan cahaya dari sesuat adalah otoritas dan prerogative Allah. Dan orang yang diangkat cahayanya adalah orang yang hidup dalam ظُلُمَات (dhzulumāt, kegelapan). Saat kita menjelaskan makna طُغْيَان (thughyān)—lihat pembahasan ayat 15 poin 3—kita menyebut bahwa kata طُغْيَان (thughyān) ini mirip maknanya dengan kata ظُلْمٌ (dzulm, zalim, aniaya). Menariknya kata ظُلْمٌ (dzulm, zalim, aniaya) ini satu asal kata dengan ظُلُمَات (dhzulumāt, kegelapan). Bisa disimpulkan bahwa orang yang mati cahaya jiwanya juga mati cahaya kemanusiaannya. Orang yang mati cahaya jiwanya sama dengan orang yang hidup dalam kegelapan. Orang yang hidup dalam kegelapan adalah orang yang kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga akan tega melakukan apa saja demi kepentingan ego dan hawa nafsu pribadi dan kelompoknya; orang ini akan tega melakukan berbagai bentuk kezaliman. Apabila mereka berkuasa, kekuasaannya digunakan untuk melakukan perbuatan aniaya, penindasan, opresi, tirani, dan kezaliman. Cuma, bagi kebanyakan manusia, perbuatan aniaya, penindasan, opresi, tirani, dan kezaliman mereka ini terkadang sulit dikenali karena mereka membungkusnya dengan baju keagamaan yang nyaris sempurna.

2). Saat membahas makna ayat “Allah telah menutup qalbu, pendengaran, dan penglihatan mereka dengan sumbat..” (ayat 7), dijelaskan bahwa ketiga instrument ini adalah semacam software yang mempunyai fungsi ruhaniah. Apabila ketiga instrumen ini tidak berfungsi, maka hilanglah unsur-unsur utama yang menjadi pembeda antara manusia dan hewan. Manusia bahkan bisa menjadi makhluk yang lebih rendah dari hewan melata: “Sungguh, seburuk-buruk hewan melata (makhluk) yang ada di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli, (yaitu) orang yang tidak mengunakan aqalnya.” (8:22) Artinya, orang yang tuli, bisu, (dan) buta adalah orang yang tidak mungkin lagi bertindak sesuai dengan akal sehat. Di sinilah terjelaskan kenapa manusia bisa berubah menjadi monster hewani yang menakutkan. Yakni bahwa manusia yang hidup dalam ظُلُمَات (dhzulumāt, kegelapan) sama dengan kawanan binatang melata yang semua tindakan-tindakannya tidak sejalan lagi dengan akal sehat, tidak rasional, tidak intelek, tidak logis. Nalar insani mereka sudah tersumbat. Andalan mereka tinggal retorika dan kemampuan memanipulasi kata-kata: dusta dan kebohongan.  

3). Coba cermati ayat 18 ini baik-baik kemudian bandingkan dan cari perbedaannya dengan ayat berikut ini: صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ يَعْقِلُون [… (Mereka) tuli, bisu (dan) buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak akan menggunakan aqal(nya) (2:171)]. Dengan mudah kita menemukan bahwa perbedaannya hanya di buntutnya. Kalau di ayat 18 ini, buntutnya berbunyi: لاَ يَرْجِعُونَ [mereka tidak akan kembali (ke jalan yang lurus, shirathal mustaqym)]; sementara di 2:171, buntutnya berbunyi: لاَ يَعْقِلُون [mereka tidak akan menggunakan aqal(nya)]. Kalau kita kawinkan keduanya, maka yang terfahami ialah: orang yang tuli, bisu, dan buta adalah orang yang tidak lagi menggunakan akalnya; dan orang yang tidak mengunakan akalnya niscaya tidak akan menemukan jalan untuk kembali ke jalan yang lurus (shirathal mustaqym, shirathal ladzina an’amta ‘alymim, S. al-Fatihah ayat 6 dan 7). manusia hanya akan bisa kembali ke jalan yang lurus (shirathal mustaqym, shirathal ladzina an’amta ‘alymim) apabila mereka beriman, dan manusia hanya akan beriman apabila menggunakan akal pikirannya, sementara manusia tidak akan menggunakan akal pikirannya apabila (Mereka) tuli, bisu (dan) buta.

 4). Apabila manusia memilih menjadi tuli, bisu (dan) buta, maka siapakah lagi yang bisa membuatnya mendengar, bertanya, dan melihat? Di sini kita ketemu lagi pembicaraan mengenai kehendak bebas seperti yang telah diterangkan di ayat 8. “Sungguh kamu (Muhammad) tidak akan dapat menjadikan orang-orang yang mati (hatinya) mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli (bisa) mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (27:80, 30:52). Satu-satunya yang bisa membuat mereka bisa kembali ke jalan yang lurus adalah diri mereka sendiri, karena Allah telah memberikan kepadanya kehendak-bebas (free-will) beserta alat-alat pendukungnya: “Sungguh Kami telah memberi petunjuk jalan (dalam diri manusia, yaitu akal pikiran); (tetapi terserah mau) mensyukuri(nya) atau mengingkari(nya).” (76:3). Cuma, biasanya, manusia cenderung tidak kembali ke jalan yang lurus sebelum kaki mereka terantuk batu besar: “Dan tidaklah Kami perlihatkan kepada mereka suatu mukjizat kecuali (bahwa) mukjizat itu lebih besar dari mukjizat-mukjizat sebelumnya. Dan Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka kembali (ke jalan yang lurus).” (43:48)


AMALAN PRAKTIS
Berdasarkan ayat ini, apabila Anda merasa kesulitan mencerna, menyimak, hingga akhirnya juga kesulitan mengamalkan ajaran-ajaran agama, maka Anda patut memberi status suspect (mencurigakan) terhadap diri Anda dalam kaitannya dengan ‘penyakit’ tuli, bisu (dan) buta ini. Dan kalau Anda tidak secepatnya menyembuhkannya, khawatir tiba pada apa yang disebut the door of no return (tidak akan kembali ke jalan yang lurus).

No comments:

Post a Comment