Thursday, October 25, 2012

25/10 QS. AL-BAQARAH (2) : 8

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِين

Dan diantara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir", padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.

1). Di sini ada pengakuan dan ada penyangkalan. Diantara manusia ada yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Tetapi Allah sendiri yang kemudian menyangkalnya. Menunjukkan bahwa menusia ( di dunia ini) benar-benar merdeka untuk melakukan apa saja dan mengatakan apa saja sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Ini yang disebut free-will (kehendak-bebas), yang merupakan karunia terbesar Allah kepada manusia, yang tidak diberikan kepada hewan manapun. Saking bebasnya, manusia bisa mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta sekalipun. Manusia bisa menyebarkan kebohongan, ketidakbenaran, yang isinya tak lebih dari provokasi, agitasi, manipulasi, dan iklan murahan. Dan supaya free-will itu bisa diterapkan, sehingga tidak hanya berhenti pada konsep, Allah pun memberikan karunia dalam bentuk free-choice (pilihan bebas): ya atau tidak, syukur atau kufur, mengakui Tuhan atau menolaknya, taat atau menentang. Di titik inilah nanti manusia dimintai pertanggung jawaban atas pilihan-pilihannya, karena di balik kehendak-bebas tersebut—agar tidak salah pilih—Allah mengaruniakan alat yang luar biasa: qalbu-pendengaran-penglihatan (yang telah dibahas pada ayat sebelumnya). Sehingga, pada saatnya nanti kita melihat bahwa bukan perbuatan manusia yang dimintai pertanggungjawaban tapi alasan kenapa melakukan perbuatan tersebut.

2). Tetapi dibalik kehendak-bebas yang dimiliki manusia, Allah juga punya otoritas dan prerogative untuk melakukan penilaian. Dan penilaian Dia adalah penilaian yang benar, penilaian yang tak memiliki cacat sedikitpun, sesuai dengan sifat-sifat ketuhanan yang dimiliki-Nya. Pertanyaannya kemudian: yang namanya penilaian pasti ada standarnya, ada parameternya, lalu apa parameter yang Allah gunakan dalam menerapkan otoritas dan prerogative penilaian-Nya tersebut? (Kalau parameter ini tidak jelas, tentu Allah menganiaya hamba-Nya). Di sini kita berjumpa kembali urgensi Kitab Suci. Jadi selain fungsinya sebagai PETUNJUK, al-Qur’an juga berfungsi sebagai HUKUM, yang kepadanyalah nanti Allah merujukkan penilaian-Nya tersebut.

3). Penyangkalan Allah terhadap pengakuan keberimanan mereka, mengajarkan kepada kita bahwa iman itu tidak cukup dengan pengakuan. Iman itu ialah konsistensi atau garis lurus yang menghubungkan antara tiga titik: perbuatan-perkataan-jiwa. Cara membacanya begini: perbuatan itu adalah refleksi dari perkataan dan perkataan itu adalah refleksi dari jiwa. Jadi jiwalah yang menjadi awal dari semuanya, sehingga jiwa pulalah yang berfungsi sebagai mesin pendorong dari perbuatan tersebut. Maka kalau ada orang yang mengaku beriman tetapi pengakuannya itu belum landing di jiwanya, pada hakikatnya belum beriman.


AMALAN PRAKTIS
Ingatlah, lidah kita lebih terlatih daripada jiwa kita. Karena keterampilan berbicara kita mendahului 15 tahun usia akil balig kita. Maka agar keterampilan jiwa kita bisa mengejar keterampilan berbicara kita, hendaknya lebih banyak berfikir atau merenung ketimbang berbicara. “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya berbicara yang baik-baik (saja). Atau (kalau tidak bisa, maka lebih baik) diam.” (al-Hadits)

No comments:

Post a Comment