Wednesday, October 31, 2012

31/10 QS. AL-BAQARAH (2): 14

وَإِذَا لَقُواْ الَّذِينَ آمَنُواْ قَالُواْ آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْاْ إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُواْ إِنَّا مَعَكْمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِؤُونَ

 Dan apabila mereka berjumpa orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman.’ Dan apabila mereka kembali kepada syaitan-syaitannya, mereka mengatakan: ‘Sungguh kami (tetap) bersama kalian, hanya saja kami memperolok-olok (mereka)’.

 1). Ayat ini kembali menekankan dan sekaligus mengingatkan bahwa argument-argumen yang mereka gunakan sebelumnya (ayat 11, 12, dan 13) adalah bagian dari caranya menipu Allah dan orang-orang beriman (ayat 9). Bagi mereka orang beriman itu adalah orang-orang yang bodoh, kerjanya hanya merusak di bumi; sementara mereka adalah orang-orang yang pintar, kerjanya membangun kehidupan manusia; dan karenanya hanya mereka sajalah yang pantas jadi penguasa, yang pantas mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam; orang beriman cukup di pojok-pojok masjid yang kerjanya sekedar beribadah kepada Tuhannya. Ayat ini sudah merupakan pemberitahuan terbuka kepada orang-orang beriman agar tidak mempercayai mereka. Sekali percaya kepada mereka, niscaya akan tertipu selama-lamanya.

2). Di dalam al-Qur’an kita menemukan banyak sekali ayat yang membongkar kedok orang-orang munafiq. Tentu saja tujuannya jelas; yaitu caranya Allah menunjukkan cinta dan kasihnya kepada manusia, makhluk-Nya yang ketika menciptakannya Dia memerintahkan seluruh penghuni alam malakut bersujud kepadanya (2:30-34, 7:11, 15:28-29, 38:71-72). Allah tahu bahwa jikalau mereka berkuasa, tidak saja mengeksploitasi sumber daya alam semuanya, tapi juga mengeksploitasi sesamanya manusia. Alih-alih mereka menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan dan memperbaiki harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan, mereka bahkan menggunakannya hanya untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya demi memperkuat diri dan kelompoknya agar kelangsungan dinasti mereka tetap terjaga. ‘Iman’ dan ‘ibadah’ mereka tidak lebih dari pembungkus belaka untuk menutupi jati diri mereka yang sesungguhnya.

3). Yang menarik, di ayat ini Allah menyebut mereka sebagai syaitan, padahal mereka bukan jin yang bergentayangan. Bisa difahami bahwa syaitan itu tidak harus berbentuk makhluk ‘halus’. Manusia bisa jadi syaitan. Buktinya, Allah menyebut orang-orang munafiq itu sebagai syaitan-syaitan. Syaitan itu, kata Allah, adalah minal jinnati wan-nās (dari kalangan jin dan manusia, 114:6). Maka siapapun, berpotensi jadi syaitan. Bahkan syaitan yang dimaksud al-Qur’an justru kebanyakan dari kalangan manusia. Karena, menurut al-Qur’an, syaitan itu adalah “musuh yang nyata bagi kalian” (2:168 dan 208, 6:142, 7:22, 12:5, 28:15, 36:60, 43:62). Kalau jin yang bergentayangan, tentu tidak nyata. Syaitan ini, kata Allah, adalah musuh manusia, musuh orang beriman, sehingga kitapun diminta untuk menjadikan syaitan itu sebagai musuh: “Sungguh syaitan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan itu hanya mengajak golongannya untuk(sama-sama) menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (35:6)

4). Setelah Allah mengidentifikasi orang-orang munafiq sama dengan syaitan, kini menjadi jelas bagi kita kenapa mereka menjadikan agama dan orang-orang mukmin hanya sebagai barang olok-olokan atau permaian belaka saja. Allah ingin mengatakan, memilih mereka sama dengan memilih syaitan. Memilih syaitan sama dengan turut memperolok-olok dan mempermainkan agama. Turut memperolok-olok dan mempermainkan agama sama dengan turut melakukan kejahatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Ujung-ujungnya, kelak akan bersama dengan para syaitan itu di dalam neraka yang menyala-nyala. Untuk itu Allah berpesan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi pemimpin yang (kepadanya) kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita tentang Muhammad dan orang mukmin), karena persahabatan(mu dengan mereka); padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu (hanya) karena kalian beriman kepada Allah, Tuhanmu…” (60:1)


AMALAN PRAKTIS
Kita boleh bergaul dengan siapa saja. Tetapi tetaplah waspada. Kita wajib menyelamatkan diri kita, tapi lebih wajib lagi menyelamatkan agama kita. Karena di dalam agama itulah terletak kebahgiaan dan kesejahteraan manusia dunia dan akhirat. Maka selalulah memperhatikan dengan siapa Anda bersahabat. Kata Sayyidina Ali kw, manusia dinilai dengan siapa dia bersahabat.

No comments:

Post a Comment