Friday, October 26, 2012

26/10 QS. AL-BAQARAH (2) : 9

يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ

Mereka (bermaksud) menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal tiadalah yang mereka tipu kecuali dirinya sendiri, cuma mereka tidak menyadari.

1). Maksud yang mereka pendam di benaknya inilah yang menyebabkan golongan manusia jenis ketiga ini mendapat catatan penting dari al-Qur’an. Karena, sejujurnya, kebohongan bisa kita temukan dimana-mana dan di setiap saat. Orang yang mendua antara perkataan dan hatinya dengan mudah kita jumpai di sekitar kita. Tetapi manusia yang dibincang oleh ayat 8 hingga ayat 20, lain daripada yang lain. 

Coba perhatikan betapa sangarnya “maksud” yang mereka pendam itu: hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Tidak tanggung-tanggung, yang mereka mau tipu bukan istri, bukan suami, bukan teman, bukan majikannya, tetapi Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui. Hebat sekali. Artinya, kalau Allah saja mereka berani tipu, apalagi kalau cuma sesamanya manusia. 

2). Di ayat ini Allah menyandingkan diri-Nya dengan orang-orang yang beriman. Ini berarti orang yang beriman yang dimaksud pasti bukan dalam pengertiannya yang predikatif, bukan sekedar penyandang gelar “orang beriman”. Penyandingan dirinya dengan orang beriman menunjukkan bahwa orang beriman yang dimaksud bukan orang sembarangan, melainkan mereka yang menenggelamkan seluruh cita-cita hidupnya ke dalam bahtera penegakan Pemerintahan Allah di dalam dada-dada manusia. Mereka yang telah mengidentifikasi dirinya secara istiqomah bersama shiratal-ladzyna an’amta ‘alayhim (1:7)—yaitu para nabi, shiddiqyn, syuhada, dan orang-orang saleh. Maka yang dimaksud dengan “menipu Allah dan orang-orang yang beriman” ialah menipu cita-cita mereka agar cita-cita mereka tersebut tidak terwujud di muka bumi, sehingga para penipu ini tetap bisa berkeliaran dengan merusak dan memperdaya manusia.

3). Klausa “padahal tiadalah yang mereka tipu kecuali dirinya sendiri” menunjukkan bahwa setiap keburukan dan kejahatan yang kita lakukan selalu yang paling pertama jadi korbannya adalah diri sendiri. “Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kalian berbuat jahat maka kejahatan itu (pun) bagi dirimu sendiri…” (17:7). Sehingga, pada dasarnya tidak ada pelaku kejahatan yang berhasil. Karena hakikatnya mereka hanya menipu diri sendiri. Penjelasannya: tidak ada perbuatan bertujuan yang terjadi secara refleksif; semua perbuatan bertujuan—sebelum jadi perbuatan—pertama kali muncul di hati pelakunya. Namanya niat atau rencana. Dan karena hati sifatnya nonmateri, maka baru niat atau rencana saja pun sudah sama pengaruhnya (terhadap jiwa) dengan melakukannya secara aktual. Maka menyimpan niat atau rencana jahat pun sudah menghancurkan jiwa pelakunya. Semakin banyak dan semakin sering kita berniat jahat semakin rusak jiwa kita. Sementara yang disebut bahagia ialah saat jiwa hanya dihuni oleh niat baik. Semakin banyak kita berniat baik semakin tinggi tingkat kebahagiaan yang dirasakan.

4). Problem terbesar dalam diri manusia, kaitannya dengan perbuatan, adalah “kesadaran” (Arab: syu’uwr, Inggris: feeling, sentiment, awareness). Karena sangat jamak terjadi dimana perbuatan mendahului kesadaran (akan risiko atau dampak) dari perbuatan tersebut, bukan hanya oleh pelaku perbuatan tersebut tapi juga oleh orang lain. Semakin sistematik suatu perbuatan jahat semakin lama pula baru kelihatan dampak buruknya, juga semakin sulit pula bagi masyarakat kebanyakan untuk mengenalinya. Dalam konteks inilah, masyarakat atau massa paling sering jadi korbannya. Perjalanan peradaban-peradaban adalah narasi timbul tenggelamnya pelaku-pelaku kejahatan sistematis seperti ini. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah cerita horror yang menghiasi halaman panjang buku-buku sejarah kemanusiaan kita. Itulah diantara sebab nabi demi nabi di utus, agama demi agama dihadirkan: وَمَا يَشْعُرُونَ [dan (sayangnya) mereka tidak menyadari]. Agar kejadian kelam seperti itu tidak terus-menerus terulang, maka kenalilah mereka dengan baik: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (bermaksud) menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (4:142)

AMALAN PRAKTIS
Agar kesadaran Anda tidak didahului oleh perbuatan Anda, maka simaklah secara saksama ayat demi ayat dari al-Qur’an. Karena di sana Allah—Penguasa yang tak diikat oleh ruang dan waktu—menuntun Anda menyambut masa depan yang masih ghaib oleh seluruh manusia. Kalau tidak, jangan-jangan—tanpa Anda sadari—Anda adalah termasuk orang yang sedang menipu Allah. Na’uzu billah…!!!

No comments:

Post a Comment