Tuesday, April 2, 2013

KASTA PADA SISTEM KEMASYARAKATAN BUGIS - MAKASSAR


Menurut Garna (1994), “sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), “Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara pelaku sosial”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan yang tercipta karena adanya interaksi.

Dari berbagai definisi budaya, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata (konkrit), misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Sistem Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat.

Sistem kemasyarakatan Bugis-Makassar, terbagi atas tiga tingkatan (kasta). Pertama: karaeng (Makassar), menempati kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial kemasyarakatan. Mereka adalah kerabat raja-raja yang menguasai ekonomi dan pemerintahan. Kedua: tu maradeka (Makassar), kasta kedua dalam sistem kemasyarakatan Bugis-Makassar. Mereka adalah orang-orang yang merdeka (bukan budak atau ata). Masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) mayoritas berstatus kasta ini. Ketiga: ata, sebagai kasta terendah dalam strata sosial. Mereka adalah budak/abdi yang biasanya diperintah oleh kasta pertama dan kedua. Umumnya mereka menjadi budak lantaran tidak mampu membayar utang, melanggar pantangan adat, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, sebagai sunnatullah, sistem kerajaan runtuh dan digantikan oleh pemerintahan kolonial, stratifikasi sosial masyarakat Bugis-makassar berangsur luntur. Hal ini terjadi karena desakan pemerintah kolonial untuk menggunakan strata sosial tersebut. Selain itu, desakan agama (Islam) yang melarang kalsifikasi status sosial berdasarkan kasta. Pengaruh ini terlihat jelas menjelang abad 20, dimana kasta terendah, “ata”mulai hilang. Bahkan, sampai sekarang kaum ata sudah sulit ditemukan lagi, kecuali di kawasan pedalaman yang masihsangat feodal.

Setelah Indonesia merdeka, 2 kasta tertinggi, yaitu ana’ karaeng dan tu maradeka juga berangsur mulai hilang dalam kehidupan masyarakat. Memang pemakaian gelar ana’ karaeng, semisal Karaenta, Petta, Puang, dan Andi masih dipakai, tetapi maknanya tidak sesakral zaman kerajaan. Pemakaian gelar kebangsawanan tersebut tidak lagi dipandang sebagai pemilik status sosial tertinggi.

Dalam sistem sosial, juga dikenal adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat seperti : Sipa’anakang/sianakang, Sipamanakang, Sikalu-kaluki, serta Sambori.

Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.

Sirik na pacce juga merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.

Sistem sosial, kekerabatan dan nilai-nilai budaya yang dipaparkan di atas juga terdapat dan termanifestasi di daerah pesisir Makassar sejak dahulu hingga kini.

*sumber: http://www.alamyin.com

No comments:

Post a Comment